Sudah, berhenti sejenaklah

I almost hit my limit.
Kuartal pertama plus beberapa bulan di tahun ini hidup sudah seperti di roller-coaster. Mengurusi pekerjaan yang tak ada habisnya, tambahan tanggung jawab yang antara bangga dan bete, Ibu yang sakit, kursus jarak jauh yang berat dan tentu saja, keluarga. Sampai akhirnya, saya hampir meledak dua hari lalu.
Rencana cuti dari Senin diundur jadi Rabu. Rabu pun masih ada rapat yang harus didatangi sebentar. Semua rasanya harus. Rasanya hampir meledak.
Dalam sebuah rapat dua hari lalu, saya jadi super ketus pada semua keputusan yang terasa lambat. Beberapa hal saya baca cepat dan segera ambil keputusan, ya atau tidak. Ketika tekanan untuk menjawab minggu ini dari sebuah email datang, saya membalas, juga dengan ketus untuk jangan diganggu beberapa hari kedepan karena saya mau cuti setelah satu setengah tahun tidak pernah cuti ajeg.
Super ketus.
Tidak bangga dengan itu, tapi saya bersyukur mendengar intuisi saya untuk berhenti. Semua sel di tubuh sudah menyatakan diri untuk minta berhenti, melambat, menikmati hidup dan tidak lupa jauh dari gadget. Semua sinyal itu sering terdengar, ditepis dan dibuang. Tapi semua teriakan itu menjadi sangat berkuasa di beberapa hari lalu and I listened.
So I stop. STOP.
Kehidupan yang begitu cepat, deadline yang tidak bisa dilanggar dan semua output yang harus tuntas membuat hidup penuh jadwal. Kadang menikmati karena saya senang dan lega bila semua jadwal terpenuhi, tetapi kadang merasa perlu menikmati proses. So I am taking a pause.
Saya sekarang saya membaca buku Thrive yang ditulis Ariana Huffington. Lalu menemukan sebuah gerakan yang lucu, namanya Slow Movement. Sebagai orang yang hidupnya terjadwal dan digandrungi “hurry sickness” rasanya, saya mau mencoba ini.
Buku ini mengutip, Carl Honore, pengarang dari In Praise of Slowness:
“Speed can be fun, productive and powerful, and we would be poorer without it. What the world needs, and what the slow movement offers, is a middle path, a recipe for marrying la dolce vita with the dynamism of the information age. The secret is balance: instead of doing everything faster, do everything at the right speed. Sometimes fast. Sometimes slow. Sometimes in between.”
Seorang teman bilang, bahkan di musik yang paling indah sekalipun, selalu ada pause. Take a pause untuk berhenti sejenak.
I am taking it now. Pause. Slow.
Saya pernah membaca, seorang perempuan janganlah “menjadi koran terbuka” artinya semua hal di ekspos. Merawat ibu sdh menjadi kewajiban, terlihat pd tweet “Ibu saya mengeluh jika diantar kakak saya, karena matanya selalu ke HP; lbh baik pergi dgn saya. Menulis seakan-akan kita paling berdedikasi, membenci pejabat seakan kita paling pintar dan mampu menyelesaikan masalah. Menjadi perempuan sebaiknya memang misterius, karena jika satu persatu kekurangan kita diketahui terdekat kita, dan membaca tulisan kita. akan timbul ucapan, Tulisan doank apa susahnya. Media sosial akan menjadikan semakin nyinyir, apa saja dikomentari, dan jangan pernah bilang, kalo ga mau liat saya jangan baca tulisan saya. Kajian perlu untuk mawas diri, berkaca pada bening. Menata keluarga lbh penting.
Kalau saya baca buku, saya suka sekali membaca bagian yang berasal dari pengalaman pribadi penulis. Seperti cerita Ariana di Thrive soal anaknya yang terkena over dosis. Atau Sheryl Sandberg yang dikatai paus saat dia hamil di kantor barunya, facebook. Jadi buat saya ya biasa aja cerita soal kekurangan atau pengalaman yang sebenarnya tidak terlalu pribadi. Tapi ya itu pendapat saya; mungkin mbak/mas punya pengalaman dan pemahaman berbeda. Silakan saja.
Juga mungkin saya tidak se-serius itu di sosial media. Because it does not really define me.
Terimakasih sudah mau berkunjung!