Menjaga Waras
Memasuki tahun 2017, saya mengambil beberapa keputusan atas urusan yang tertunda. Terlalu lama tertunda sehingga price to pay was (or still is) very high. Dalam proses menjalani keputusan serta konsekuensinya, rasanya kewarasan stabil sulit dicapai. Sementara, sebagai Ibu bekerja, maka fungsionalitas itu harus dijaga. Berat sekali rasanya.
Dalam proses menjaga kewarasan dan fungsionalitas itu, saya kemudian menemukan beberapa cara yang relatif mujarab, dari beragam bacaan, potongan youtube, diskusi dengan sahabat dekat serta beragam proses aneh lainnya. Dari situlah, saya menemukan beberapa cara manjur yang ingin saya bagi disini. Ihik.
Nah, cara-caranya adalah …
Mengakui. Tahap ini adalah penting karena paham bahwa sedang menghadapi masalah membawa kita ke wilayah, “so what’s next?”. Di waktu awal, saya masih sombong untuk mengakui bahwa hal itu tidak mungkin terjadi pada saya. Saya merasa terlalu oke untuk bisa mengalami persoalan yang “sepele” itu. Tetapi karena harga yang dibayar terlalu tinggi saat saya belagu, maka saya memilih untuk lebih rendah hati dan mengakui kerapuhan diri sendiri. Dengan pengakuan ini, jalan keluar bisa dibuat. Kalau di project management, semacam identifying problems. Hahahahaha.
Bergerak. Dalam banyak riset terkait depresi, bergerak itu adalah salah satu resep mujarab terutama untuk perempuan. Selain bisa memindahkan fokus pikiran ke tempat lain, bergerak itu memproduksi hormon endorphin yang mendukung proses kebahagiaan. Bergeraklah ketika hampir mau gila. Bisa tap dance di kamar, ikut senam di youtube atau salah satu favorit saya, berjalan kaki di pagi hari. Pilih waktu yang sesuai dan disiplin lah dalam mengerjakannya. Kalau mau lebih sehat, bergeraklah 150 menit per minggu.
Berdoa, meditasi. Sudah lebih dari 4 bulan saya (lebih) rajin berdoa dalam sholat, yang sebenarnya saya maknai sebagai proses meditasi. Saya bisa “ngobrol” dengan puas hati dan terbuka dengan Allah. Saya juga mencari ruangan fisik sendiri dalam proses berdoa dan meditasi, sehingga relatif bebas dari “gangguan” anak anak yang berlarian atau manggil manggil. Saya ingin memperdalam proses berdoa dan meditasi ini dengan analytical meditation dengan waktu yang lebih lama seperti dilakukan Dalai Lama setiap hari. Kalau dalam cara sholat, mungkin dari waktu Tahajjud sampai Subuh, paling sedikit 4 jam. Tapi kelamaan ya, kayaknya saya 30 menit aja udah berasa seumur hidup, je. Hahahaha.
Berpelukan. Sudah pernah dengar kalimat, “8 hugs a day, keeps doctors away”? Kalimat ini divalidasi atas riset terbaru yang terkait dengan apakah benar jadi Ibu itu cepat mati? Hahahahaha. Karena menjadi Ibu adalah pekerjaan non selfish yang tiada henti dan melelahkan juga membutuhkan banyak suplemen, jadi ada teori bahwa Ibu itu punya potensi kematian lebih cepat. Tapi ada riset terbaru yang hasilnya jauh berbeda. Kedekatan dengan anak dan adanya pelukan itu membawa oxytocin –biasa disebut hormon pelukan yang diproduksi lebih banyak saat hamil, menyusui dan membesarkan anak—membuat hidup Ibu lebih panjang sedikit.
Curhat. Kompas beberapa bulan lalu (Februari/Maret 2017) menulis soal gangguan jiwa yang belakangan jumlahnya meningkat di Indonesia. Persoalan utamanya adalah orang (dan sekitarnya) tidak mau mengakui sehingga proses penanganannya jadi terlambat. Salah satu saran dari ahli yang dikutip, dan juga saya alami adalah carilah teman curhat. Terutama kelompok kecil yang bisa dipercaya, yang tidak semata menghakimi persoalan kita tapi siap mendengar dan kasih tissue bila dalam proses kita nangis bombay. 😀
Menulis. Hampir sama dengan curhat, tapi kalau teman curhat sedang tidur –karena kita perlu curhat tengah malam atau di waktu waktu aneh yang kiranya ganggu teman curhat banget, maka tulislah. Tulis dimanapun berada, soal apapun. Buat saya, sangat penting mengeluarkan rasa yang ada dalam tubuh. Itu adalah bagian dari self-healing.
Kemanusiaan. Adalah penting untuk mengasah rasa kemanusiaan kita. Saya belajar dari cara Archbishop Desmond Tutu saat dia bercerita proses Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Afrika Selatan (tapi ini yang asli, bukan yang seperti dikira bisa dilakukan Anies Baswedan). Pada dasarnya kita harus berfikir bahwa semua manusia itu mencari kebahagiaan dan menghindari penderitaan. Kalau kita memahami hal itu, termasuk pada mereka yang menyumbang kesengsaraan ke kita, maka kita akan memandangnya sebagai “manusia biasa” dan jadi pemaaf. Desmond Tutu mendoakan secara rutin mereka yang mendukung apartheid. Sebagai individu yang mengambil keputusan “salah” tetapi juga sebagai individu biasa seperti dirinya. Buat saya, ini adalah cara paling sulit tetapi manjur untuk tidak merasa sebal atau marah. Tapi khusus ritual ini, saya masih belum stabil. Yah namanya juga manusia… Hahahaha.
—-
Gara-gara rangkaian badai ini, saya merasa kita harus lebih terbuka dengan gangguan jiwa dan sedikit pemaaf bila kita harus tidak bekerja atau berkarya dulu untuk menenangkan diri. Kalau kita begitu relijius pada kesehatan tubuh, maka hal yang sama harus diberlakukan untuk jiwa.
Begitu ya cara-cara baru yang saya temukan untuk menjaga kewarasan. Dan sebelum semua proses dimulai, saya perlu ketemu dengan sahabat sejati saya, yaitu… KAFEIN! Hahahaha.
Semoga waras ya.
Super, mbak!
Aku senang deh Mbak Utami membaca blogpost ku yang kadang #yagitudeh. 😀 Terimakasih ya mbak, it’s an honor. 😀
Btw, kalimat yang tempo hari aku twit soal kita tidak sendiri di bumi ini akan ada di sesuatu yang semoga tidak lama lagi selesai. And I put you on the list.
terimakasih ya mbak… 😀