Setiap malam, kami sekeluarga punya ritual bersyukur. Kebiasaan ini dimulai sekitar satu tahun lalu, awalnya karena saya dan suami melihat anak-anak sering menyepelekan “keberuntungan” mereka dan mulai menunjukkan tanda menuju anak yang “gengges” (atau mengesalkan, seperti … bertindak macam tuan putri). Suami saya kemudian mengusulkan untuk membuat ritual bersyukur dengan menyebut hal-hal yang paling disyukuri hari ini.
perempuan
Saat mereka sudah bisa berbicara, saya memperkenalkan organ tubuh mereka tanpa basa-basi. Ini vagina, ini bentuk penis (dari gambar), dan ini adalah payudara. Saya juga berpesan pada mereka untuk menjaga diri, seperti, “Jangan mau membuka celana dan baju bila bukan dengan Bunda, Ayah, mbak atau Bu Guru di sekolah”. Plus, “Juga, kalau mau membuka harus ada alasan, misalnya mau pipis atau mau pup”.
“Mbak Shita keliatan gendut deh,” kata seorang teman laki-laki
“Nggak gendut semuanya, tetapi perutnya aja….,” ditimpali teman perempuan.
“Tapi putihan sih,” kembali kata teman laki-laki.
“As women must be empowered at work, men must be empowered at home”, Sheryl Sandberg.
Tapi saya merasa saya tidak boleh mengurangi ambisi saya hanya karena saya punya anak. Percaya deh, saya pernah mengalami menolak sebuah tawaran kerja karena takut tidak bisa membagi waktu. Dan saya menyesal mengambil keputusan itu karena saya belum mencoba. Saat ini, yang saya percaya adalah hidup berumah tangga harus selalu punya prioritas dan beberapa hal harus dikorbankan. Tetapi jangan ambil keputusan karena khawatir tidak bisa.
Selamat pagi! (karena nulis blog ini pagi-pagi) Di pagi yang hujan tapi cerah ini, saya mau meneruskan cerita soal Project Sepatu untuk Perempuan Timor Leste. Masih ingat cerita saya di: Hak Perempuan atas Sepatu dan Sepatu, Perempuan dan Timor Leste kan? Desember 2011 lalu, saya kesana lagi. Tentu saja...
“saya sudah
terima sepatu dengan bersenang hati,dan saya sudah tes semuanya walaupun
ada yang ukurangnya tidak pas tapi saya senang karena sepatunya
bagus2,terimah kasih banyak ya mbak”
“Yuk! Come on, shoes lovers! We should unite to do something for women who have limited access to good shoes!”
Keinginan untuk segera pulang ini sering kali terlalu heboh sampai saya bisa melewati batas ketakutan saya sendiri. Saya sebenarnya takut terbang di malam hari, tetapi saya rela pulang dengan pesawat malam bila mendengar di telepon anak menangis atau meminta saya segera pulang. Saya juga rela nongkrong di bandara lebih awal agar bisa mendapatkan pesawat yang hanya satu atau dua jam lebih awal.