Kualitas Keterbukaan Pemerintah RI*
Shita Laksmi
Program Manager Southeast Asia Technology and Transparency Initiative di Hivos Asia Tenggara
(Tulisan ini adalah pendapat pribadi)
Indonesia bulan Oktober 2013 menjadi ketua dari Open Government Partnership, sebuah inisiatif global dimana Indonesia menjadi pendiri bersama dengan tujuh negara lain seperti Brazil, Meksiko, Afrika Selatan, Inggris, Amerika, Norwegia dan Filipina. Dengan masuknya Indonesia, baik sebagai ketua juga pendiri dari inisiatif ini, artinya Indonesia sudah memantapkan diri untuk masuk diskusi global tentang isu transparansi dalam menjalankan pemerintahan.
Open Government Partnership adalah kerjasama multipihak untuk memastikan adanya komitmen yang konkrit dari pemerintah untuk implementasi transparansi, memperkuat peran warga negara dan melawan korupsi. Komitmen ini diukur dari langkah nyata pemerintah menyediakan regulasi yang menjamin transparansi dan peran warga negara dalam memperoleh informasi.
Inisiatif OGP ini juga mempercayai teknologi sebagai komponen penting sebagai alat untuk memperkuat transparansi, meningkatkan peran warga negara, maupun melawan korupsi. Perlu dicatat, sebagai inisiatif yang menerapkan kerjasama multipihak, OGP “diawasi” oleh Steering Committee yang terdiri dari pemerintah dan organisasi masyarakat sipil. Keberadaan Indonesia sebagai salah satu pendiri inisiatif sebenarnya cukup mengagetkan. Sebab ide keterbukaan atau transparansi masih relatif baru di Indonesia. Saat ini, meskipun Indonesia sudah memiliki Undang Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) tetapi proses pelaksanaannya masih tersendat-sendat. Masih banyak problem yang menghadang di dalam pelaksanaannya.
Dari aspek regulasi, kendati masih banyak problem, Indonesia dinilai sedikit lebih baik dibandingkan Filipina. Saat ini Filipina belum memiliki undang undang seperti UU Keterbukaan Informasi Publik. Filipina sudah memulai proses RUU KIP sejak lebih dari dua dekade lalu tetapi sampai sekarang tetap belum disahkan. Kemajuan Indonesia, paling tidak, sudah mempunyai kerangka hukum yang melindungi warga negaranya untuk bertanya.
Namun diluar masalah regulasi, pemerintah Filipina harus diakui sedikit lebih maju dalam soal pembukaan data karena di awal Januari 2014 ini Pemerintah Filipina menyediakan Open Data portal (http://data.gov.ph/). Portal ini berisi data yang dibutuhkan oleh publik Filipina seperti data kesehatan, data lingkungan, data geospasial dan data pendidikan.
Sebatas prosedur
Selain UU KIP sebagai kerangka legal keterbukaan pemerintah Indonesia, penggunaan teknologi menjadi salah satu isu penting untuk menilai tingkat keterbukaan pemerintah Indonesia. Dalam laporan tahun 2012 (laporan tahun 2013 belum tersedia di website sampai tulisan ini selesai), Open Government Partnership menilai pencapaian rencana kerja paling tinggi adalah transparansi data dan dokumentasi terkait layanan publik yang ditayangkan via website. Satu hal yang belum tercapai oleh pemerintah Indonesia adalah partisipasi proses keterbukaan Informasi.
Partisipasi publik saat ini masih rendah. Selain itu, kualitas keterbukaan pemerintah masih jauh dari harapan. Sebab keterbukaan hanya dimaknai sebagai prosedur.
Ada dua contoh kasus yang dapat dipakai untuk menilai tingkat transparansi data pemerintah Indonesia. Pertama adalah data tentang pelaksanaan dana Bantuan Operasional Kesehatan yang sudah terbuka terutama untuk penganggaran, siapa saja yang menerima, mekanisme dan prosedur pelayanan di Puskesmas di 497 kecamatan.
Contoh kedua adalah keterbukaan di tingkat prosedur. Seperti di bidang perpajakan, imigrasi dan kepabeanan (custom). Data yang dipublikasikan adalah soal profil organisasi termasuk aparaturnya, tipe pelayanan, mekanisme pelayanan (termasuk waktu dan biaya yang dibutuhkan), soal status pelayanan dan laporan tahunan.
Jika melihat dua contoh diatas, harus diakui masih ada perbedaan definisi transparansi di kalangan pejabat pemerintah. Sebagian lembaga pemerintah telah cukup terbuka karena memuat informasi hingga masalah anggaran dan biaya. Namun sebagian lain menerapkan asas transparansi sekedar menyentuh prosedur seperti dalam kasus perpajakan dan imigrasi.
Dalam dua contoh di atas, satu hal yang belum dicapai Indonesia. Yaitu, rendahnya partisipasi masyarakat dalam keterbukaan dalam keterbukaan informasi yang disediakan pemerintah.
Memang harus diakui sulit mengajak masyarakat untuk berpartisipasi. Tantangan utama pelaksanaan keterbukaan pemerintah (open government) adalah paradigma aparatur negara yang belum bergeser menjadi pelayan masyarakat.
Kualitas keterbukaan pemerintah Indonesia tak boleh sebatas prosedur saja, namun harus bisa membantu masyarakat mencapai peningkatan kualitas hidup melalui keterbukaan yang diberikan.
Pelajaran dari pencapaian keterbukaan pemerintah Indonesia adalah penggunaan teknologi masih sebatas sebagai pembuka untuk proses selanjutnya. Memang harus diakui bahwa teknologi, apalagi sekedar website, tidak bisa menjadi jawaban yang sempurna. Pencapaian yang terbesar dan berdampak langsung kepada masyarkat ialah melalui perbaikan cara kerja pemerintah Indonesia itu sendiri.
Tentu kita tidak ingin kualitas transparansi seperti sekatang yang akan ditunjukkan Indonesia kepada negara lain di dalam inisiatif OGP. Kita menginginkan keterbukaan yang berkualitas dalam ditunjukkan pemerintah. Yaitu keterbukaan seperti yang dibutuhkan oleh masyarakat untuk meningkatkan kualitas hidupnya di banyak bidang: pendidikan, kesehatan dan seterusnya.
Keterbukaan informasi memang salah satu komponen yang penting bagi pemerintah, namun bagaimana masyarakat bisa menikmati hasilnya adalah salah satu komponen yang jauh lebih penting. Proses keterbukaan pemerintah yang dapat berdampak langsung kepada kualitas hidup masyarakat harus menjadi perhatian pemerintah, meskipun hal itu memang diakui bukan proses yang mudah. #
*Tulisan ini dimuat di koran Kontan, 21 Januari 2014.
Dear mbak Shita,
Aku setuju dengan pendapat mbak Shita.
Saat ini, aku sedang menelusuri seluruh website kementerian/lembaga (K/L) dan pemda tingkat I (provinsi). Dari seluruh website mengenai Pengelolaan Informasi dan Dokumentasi di tingkat K/L maupun Provinsi masih sangat mengecewakan, termasuk website PPID Provinsi Nusa Tenggara Barat (http://www.ppidntb.net/) ,yang dibuat atas bantuan dana dari AIPD.
Implementasi dari UU 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik masih berjalan tidak sesuai harapan berdasarkan pemahaman aku terhadap UU tersebut. Aku sering bekerja sebagai konsultan/tenaga ahli di berbagai K/L maupun pemda sehingga aku bisa menunjukkan berbagai informasi yang disembunyikan oleh para pejabat/staf di tingkat K/L maupun pemda.
Apabila draft presentasiku mengenai Keterbukaan Informasi Publik telah selesai, aku akan sharing ke mbak Shita sebagai bahan diskusi lebih lanjut.
Regards,
Hendri Edianto
Tentu. Di upload ya mas…
Dear mbak Shita,
Partisipasi masyarakat yang diharapkan, yang dimaksud pada artikel ini bentuknya seperti apa?
Apakah masyarakat diminta kritis saat pemerintah kurang terbuka, atau dari sisi penggunaan data itu sendiri seperti anaisis data atau penyajian data dalam bentuk infografik atau dashboard?
Rendy
Hi Rendy,
Bisa beragam ya. Partisipasi nya bisa dalam beragam bentuk tapi diharapkan bisa mempengaruhi pengambilan keputusan. Misalnya, alokasi budget. Tidak hanya mengawasi soal penggunaan budget seperti beberapa aplikasi di #hackjak (hackathon jakarta), tetapi juga bagaimana bisa ikut memberi input untuk alokasi. Jadi ada obrolan bermutu gitu. Tentu saja, ini variasinya luas ya…
Kamu tertarik soal data?