Menggugat Poligami

*saya copy paste dari notes jeung Tunggal Pawestri dan tulisan ini purely ditulis oleh Ibu Musdah Mulia.  Saya meletakkan di blog agar bisa tetap ingat keindahan Islam.
=======================
ditulis oleh Prof. Dr. Siti Musdah Mulia
Fenomena poligami semakin marak akhir-akhir ini, terutama karena dipertontonkan secara vulgar oleh para tokoh panutan di kalangan birokrasi, politisi, seniman, dan bahkan agamawan. Poligami sesungguhnya merupakan akumulasi dari sedikitnya tiga faktor: Pertama, lumpuhnya sistem hukum kita, khususnya Undang-undang Perkawinan. Kedua, masih kentalnya budaya patriarki di masyarakat yang memandang isteri hanyalah konco wingking, harus ikut apa mau suami dan tidak boleh menolak; dan ketiga, kuatnya interpretasi agama yang bias jender dan tidak akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Interpretasi agama yang memposisikan isteri hanya sebagai obyek seksual, tidak memiliki kemandirian sebagai manusia utuh.

Realitas sosiologis di masyarakat menjelaskan bahwa poligami selalu dikaitkan dengan ajaran Islam. Sejumlah pertanyaan muncul: Apakah betul Islam mengajarkan poligami? Apakah benar Rasul mempraktekkan poligami? Dan bagaimana seharusnya kita membaca teks-teks agama yang secara tekstual bicara tentang poligami?

Data-data historis secara jelas menginformasikan bahwa ribuan tahun sebelum Islam turun di Jazirah Arab, masyarakat di berbagai belahan dunia telah mengenal dan bahkan secara luas mempraktekkan poligami sehingga ketika itu sulit sekali menemukan bentuk perkawinan monogami, termasuk pada masyarakat Arab yang terkenal jahiliyah. Poligami yang berlangsung saat itu tidak mengenal batas, baik dalam hal jumlah isteri maupun syarat moralitas keadilan. Lalu Islam datang melakukan koreksi total secara radikal terhadap perilaku poligami yang tidak manusiawi itu.
Koreksi Islam menyangkut dua hal:
Pertama, membatasi jumlah isteri hanya empat, dan kedua, ini yang paling radikal bahwa poligami hanya dibolehkan bagi suami yangmenjamin keadilan untuk para isteri. Perubahan drastis inilah yang diapresiasi Robert Bellah, sosiolog terkenal asal Amerika sehingga menyebut Islam sebagai agama yang sangat modern untuk ukuran masa itu, “it was too modern to succed” komentarnya.

Pembatasan poligami yang sangat ketat dalam ajaran Islam seharusnya dibaca sebagai suatu cita-cita luhur dan ideal Islam untuk menghapuskan poligami secara gradual dalam kehidupan masyarakat. Layaknya kasus khamer (minuman memabukkan), larangan khamer tidak diturunkan sekaligus, demikian pula larangan terhadap perbudakan, melainkan dilarang secara bertahap sehingga terbangun kesiapan masyarakat untuk menerimanya secara mental dan sosial.
Sebab, tradisi minum khamer begitu juga perbudakan sudah demikian berakar dalam tradisi masyarakat sehingga mustahil rasanya melarang mereka minum atau membasmi perbudakan secara total.
Semua ayat Al-Qur`an menggunakan ungkapan sesuai dengan keadaan masa turunnya, tetapi pesan moral Al-Qur`an tidaklah dibatasi oleh waktu yang bersifat historis itu.

Pesan moral keagamaan dibalik ayat-ayat poligami, perbudakan, dan larangan minuman keras adalah menyadarkan manusia akan martabat kemanusiaannya, bahwa manusia adalah makhluk Tuhan yang paling bermartabat. Manusis harus menghormati sesamanya tanpa perbedaan apapun, jangan menganiaya diri sendiri, apalagi menganiaya orang lain. Muhammad Rasulullah pembawa risalah Islam hidup dan tumbuh di lingkungan tradisi poligami, tetapi justru memilih monogami. Rasul menikahi Siti Khadijah ketika berusia 25 tahun dan umat Islam perlu menyadari bahwa perkawinan Rasul yang monogami dan penuh kebahagiaan itu berlangsung selama 28 tahun: 17 tahun dijalani sebelum kerasulan (qabla bi`tsah) dan 11 tahun sesudahnya (ba`da bi`tsah).

Kebahagiaan pasangan ini menjadi inspirasi dalam banyak doa pengantin yang dilantunkan pada jutaan prosesi perkawinan umat Islam. Kalau poligami adalah mulia, mengapa Rasul tidak melakukannya sejak awal? Di mata masyarakat Arab ketika itu, Rasul sangat pantas berpoligami. Semua persyaratan poligami dimilikinya: mampu berbuat adil; keturunan tokoh Quraisy terkemuka; simpatik dan berwajah rupawan; tokoh masyarakat yang disegani; pemimpin agama yang kharismatik; dan terlebih lagi karena Khadijah tidak memberikan anak laki-laki yang hidup sampai dewasa. Namun, Rasul tidak bergeming, tetap pada pilihannya untuk monogami. Bagi Rasul, Khadijah bukan semata isteri teman tidur, melainkan lebih sebagai mitra kerja, teman dialog, tempat curhat, sahabat sejati dan yang pasti adalah belahan jiwa.

Khadijah wafat, Rasul mengalami guncangan hebat, dan begitu dalamnya kepedihan Rasul sehingga tahun kematian Khadijah diabadikan dalam sejarah Islam sebagai amul azmi (tahun kepedihan). Sepanjang hayatnya Rasul selalu membicarakan kebaikan dan keluhuran budi perempuan yang amat dicintainya itu. Tiga tahun berlalu dari wafatnya Khadijah, Rasul dihadapkan pada tanggung jawab besar mengembangkan syiar Islam ke Yastrib dan juga ke luar Jazirah Arab. Kondisi masyarakat yang bersuku-suku di kala itu memaksa Rasul harus menjalin komunikasi yang luas dengan berbagai suku agar dapat mendukung perjuangannya, dan perkawinan menjadi alat komunikasi yang strategis. Demikianlah Rasul kemudian menikahi beberapa perempuan demi terlaksananya syiar Islam.

Patut direnungkan bahwa perempuan pertama yang dinikahi Rasul setelah Khadijah bernama Saudah bint Zam`ah berumur 65 tahun, sebagian riwayat menyebutkan 72 tahun, dan yang pasti sudah menopause, sedangkan Rasul berusia 54 tahun. Rasul mengawini Saudah demi melindungi perempuan tua itu dari keterlantaran dan tekanan keluarganya yang masih musyrik. Atau mungkin juga sebagai balas budi atas jasa suaminya, Sakran ibn Amar, sahabat yang menyertai Rasul dalam perjalanan hijrah ke Abessinia. Setelah Saudah, Rasul menikahi Aisyah bint Abu Bakar, satu-satunya istri yang perawan dan masih muda, bahkan terlalu muda. Pada masa itu mengawini anak-anak belum dikategorikan sebagai tindakan yang melanggar hak anak (child abuse).

Selanjutnya, Rasul berturut-turut mengawini Hafsah bint Umar ibn al-Khattab, Ummu Salamah, Ummu Habibah, Zainab bint Jahsy, Zainab bint Khuzaimah, Juwayriyah bint Haris, Safiyyah bint Huyay, Rayhanah bint Zaid, dan yang terakhir dengan Maimunah bint Harits terjadi pada tahun ke-7 Hijriyah. Semua perkawinan Rasul ini berlangsung di Madinah dan terjadi dalam rentang waktu yang relatif pendek, yakni dalam 5 tahun.

Jarak antara satu perkawinan dan perkawinan lainnya sangat pendek. Rasul wafat pada 632 M. atau tiga tahun setelah perkawinannya yang terakhir. Menarik bahwa tidak satupun dari para isteri itu yang pernah diceraikan. Memang pernah ada gosip Rasul menceraikan Hafsah, tetapi setelah diklarifikasi oleh Umar ibn Khattab ternyata gosip itu tidak benar.

Rasul memperlakukan para isterinya secara adil dan bijaksana. Jika Rasul akan mengikutkan salah seorang di antara mereka dalam perjalanan maka mereka diundi dengan maksud menghindari kecemburuan dan iri hati di antara mereka. Kendati Rasul telah berupaya melakukan yang terbaik bagi para isterinya, namun kecemburuan, konflik, dan ketidakakuran di antara mereka tetap saja terjadi dan ini diabadikan dalam kitab-kitab sirah Rasul. Sebagian isteri Rasul telah berumur, punya banyak anak, dan janda para sahabat yang gugur dalam membela Islam. Dari kesebelas istrinya itu Rasul tidak dikaruniai anak. Data-data ini cukup menjelaskan bahwa alasan Rasul menikahi perempuan lebih dari satu sangat jauh dari tuntutan memenuhi kepuasan biologis sebagaimana dituduhkan.

Kesalehan dan kemuliaan akhlak Rasul dalam memilih isteri digambarkan dalam banyak hadis, di antaranya hadis Amrah bint Abdurrahman: “Rasulullah ditanyai, Ya Rasul mengapa engkau tidak menikahi perempuan dari kalangan Anshar yang sangat terkenal kecantikannya? Rasul menjawab: “Mereka adalah para perempuan yang sangat pencemburu dan tidak akan bersabar dimadu”, sementara Aku mempunyai beberapa istri, dan aku tidak suka menyakiti kaum perempuan berkenaan dengan hal itu.” Jawaban Rasul mempertegas kebenaran bahwa poligami dapat menyakiti hati perempuan. Rasul terlalu mulia untuk menyakiti hati perempuan, bahkan beliau diutus demi mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan yang sudah sangat terpuruk.

Terbukti Rasul tidak memilih perempuan muda dan cantik sebagaimana lazim dilakukan laki-laki. Tujuan perkawinan Rasul bukan untuk memenuhi hasrat biologisnya, melainkan untuk kepentingan yang lebih mulia, yaitu menjaga keselamatan umat menuju tegaknya masyarakat Madinah yang didambakan.
Sekarang, jika umat Islam ingin mengikuti sunah Rasul dalam perkawinan, pilihan bijak tentulah mengikuti perkawinan monogami Rasul yang penuh kebahagiaan dan berlangsung sekitar 28 tahun, bukan perkawinan dengan banyak isteri yang hanya berlangsung kurang-lebih 6 tahun.

Perlu pula dicatat, meskipun Rasul menikahi lebih dari satu perempuan, namun tetap saja beliau tidak setuju anak perempuannya, Fatimah az-Zahra dimadu. Rasul marah dan mengecam menantunya, Ali ibn Abi Thalib yang berniat poligami. Sejumlah hadis sahih, diantaranya dari al-Miswar ibn Makhramah meriwayatkan bahwa ia mendengar Rasul berpidato di atas mimbar: “Sesungguhnya keluarga Hisyam ibn Mughirah meminta izin kepadaku untuk menikahkan putrinya dengan Ali. Dengarlah bahwa aku tidak mengizinkannya, aku tidak mengizinkannya, aku tidak mengizinkannya, kecuali jika Ali bersedia menceraikan putriku baru menikahi anak mereka. Ketahuilah, Fatimah adalah belaian jiwaku. Barangsiapa membahagiakan Fatimah berarti membahagiakanku. Sebaliknya, barangsiapa menyakitinya berarti ia menyakitiku.”

Sejumlah kitab hadis terkenal. seperti Sahih Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan Tirmizi, Musnad Ahmad, dan Sunan Ibnu Majah meriwayatkan hadis tersebut dengan redaksi yang persis sama. Dari perspektif ilmu hadis mengindikasikan hadis itu diriwayatkan secara lafzi. Artinya, sangat terjamin kesahihannya. Hadis itu membuktikan betapa Rasul tidak setuju poligami. Beliau bahkan mengulangi sampai tiga kali pernyataan ketidaksetujuannya terhadap niat Ali berpoligami. Sejarah pun mencatat, Ali baru menikah lagi setelah Fatimah wafat.

Sebagai Rasul, tentu saja beliau sadar bahwa pembelaan terhadap anak perempuan dan penolakannya yang keras terhadap poligami akan diteladani para ayah dari umatnya. Keberatan Rasul sangat logis dan bahkan sangat manusiawi. Ayah siapa yang rela melihat anak perempuannya dimadu? Sebab, hanya perkawinan monogami yang menjanjikan terwujudnya mawaddah wa rahmah (cinta kasih yang tak bertepi), mu’asyarah bi al-ma’ruf (kesantunan dan kesopanan), sa’adah (kebahagiaan) dan sakinah (ketenteraman dan kedamaian).

Hadis tersebut bisa juga mengandung makna betapa beratnya tanggung jawab suami dalam poligami sehingga hanya manusia setingkat Rasul yang mampu melakukannya secara adil sesuai ketentuan syari`ah. Pandangan seperti inilah yang melatarbelakangi lahirnya ketentuan hukum mengenai keharaman poligami dalam Undang-Undang Keluarga di Tunisia. Tunisia merupakan negara kedua di Dunia Islam yang mengharamkan poligami setelah Turki. Tunisia adalah negara Islam yang konstitusinya berbasiskan Syari’at Islam, tetapi mengharamkan poligami dengan alasan poligami yang dipraktekkan umat Islam sekarang bertentangan dengan perilaku Rasul. Poligami umat Islam sudah mencapai tahap crime against humanity (pelanggaran terhadap kemanusiaan).

Undang-undang Keluarga negara Islam lainnya, seperti Mesir, Syria, dan Marokko meskipun tidak seketat Tunisia juga sangat membatasi poligami sebagai bentuk proteksi negara terhadap warganya yang rentan, yakni para anak dan isteri. Sebagian ulama, seperti Mahmud Muhammad Thaha, Abdullahi an-Na’im berpendapat poligami hanya dibolehkan pada masa-masa awal Islam dan dilarang ketika umat Islam sudah menjadi masyarakat yang beradab. Ayat-ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang poligami lebih bernuansa pelarangan ketimbang pembolehan.

Sesungguhnya, Indonesia sebagai negara yang berpenduduk mayoritas Muslim sudah menerapkan aturan yang ketat dalam poligami, hanya saja dalam implementasinya sangat lemah. Inilah masalahnya!!!. Menurut Undang-undang Perkawinan, suami boleh poligami kalau mampu berlaku adil dan ada izin dari isteri, dan izin itu bisa diperoleh dengan tiga syarat: kalau isteri mandul, isteri sakit berkepanjangan, isteri tidak dapat melaksanakan kewajiban sebagai isteri. Sayangnya, peraturan ini tidak berjalan efektif, mungkin karena tidak ada polisi yang mengawasi suami poligami.

Kebanyakan suami poligami tidak mampu berlaku adil. Kebanyakan mereka melakukannya tanpa izin isteri sehingga poligaminya dilakukan secara sirri, tanpa pencatatan resmi. Kebanyakan suami berpoligami bukan karena isterinya tidak punya anak, atau sakit atau tidak melakukan kewajiban, melainkan semata karena tidak mampu mengekang keinginan syahwatnya. Lagi-lagi soal biologis!!! Karena itu, menejemen qalbu saja ternyata tidak cukup, harus diiringi dengan menejemen syahwat.
Mengapa semua alasan yang membolehkan suami berpoligami hanya dilihat dari perspektif kepentingan suami, tidak sedikit pun mempertimbangkan perasaan dan kepentingan perempuan? Bagaimana jika suami tidak mampu menjalankan kewajibannya? Bagaimana jika suami cacat atau ditimpa penyakit? Bagaimana jika suami mandul? Apakah Pengadilan Agama juga akan memberi izin kepada istri menikah lagi?

Ketentuan tentang poligami dalam UUP jelas menunjukkan posisi inferior dan subordinat perempuan di hadapan laki-laki. Dan ini sungguh bertentangan dengan esensi Islam yang mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, kesetaraan dan kemaslahatan.

Alasan pembolehan poligami itu pun menyalahi tuntunan Allah dalam Q.S. an-Nisa, 4:19: “…Dan perlakukanlah isterimu dengan cara-cara sopan lagi santun. Kemudian, bila kamu tidak menyukai mereka (maka bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” Pesan moral ayat ini justru meminta suami bersabar atau tabah menghadapi kekurangan isteri karena mungkin itu ada hikmahnya, bukan lalu mencari isteri lain. Sebaliknya, kalau suami punya kekurangan, maka isteri pun harus bisa menerima itu sebagai kenyataan. Dja’far al-Shadiq, ulama besar pada periode awal Islam menjelaskan bahwa dalam perkawinan Islam hanya ada dua pilihan bagi suami: hidup bersama isteri dengan penuh kedamaian dan kebahagiaan atau berpisah dengan cara yang santun (Q.S. an-Nisa, 4: 21). Tidak ada pilihan ketiga. Bukankah inti dari perkawinan Islam adalah komitmen untuk hidup bersama dalam suka dan duka menuju keridhaan Tuhan. Indah sekali !

Agama sejatinya membuat hidup manusia lebih bermakna: bermakna bagi dirinya sendiri, bagi pasangannya, bagi sesama manusia, dan bagi alam semesta. Islam adalah agama yang ramah terhadap perempuan, sekaligus rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi alam semesta). In urîdu illa al-ishlâh mastathatu. Wa mâ tawfîqiy illâ billâh. Wa Allah a’lam bi al-shawab.

  • August 16, 2010