(Mencoba) Menjauh dari Gawai
Saat ini saya sedang sabbatical leave. Semacam cuti relatif panjang –22 hari kerja—yang diberikan ke staff setelah bekerja lebih dari lima tahun. Sabbatical leave bisa digunakan untuk belajar, bisa juga untuk istirahat agar waras.
Sabbatical leave lima tahun yang lalu saya terbang ke Universitas Manchester untuk jadi academic visitor. Sabbatical leave saat ini, saya mau di rumah. Main sama anak-anak, baca, tidur, belajar sesuatu dan nge-blog.
Di hari ke 12, saya merasa hidup saya saat sabbatical leave ini tidak terlalu meaningful. Ada banyak hal yang perlu dikerjakan tetapi tidak ada yang urgent. Saya jadi sangat bergaul dengan gawai. Setelah rajin baca facebook dan twitter serta nimpalin sana sini, saya kok merasa tidak banyak artinya hidup ini. Di akhir hari, rasanya tidak puas.
Sebenarnya sudah lama saya menjauhi gawai, terutama saat sedang bekerja atau bersama anak-anak. Attachment yang luar biasa selama 12 hari ini membuat saya (agak) lupa bahwa sebenarnya gawai ini memang gawat. Kebanyakan melihat status orang lain, apalagi yang sangat berseberangan dengan keyakinan kita plus diskusi tidak mutu di beberapa whatsapp group (catatan: cuman beberapa, ada juga yang mutu :D) bikin hidup saya jadi meaningless.
Sudah satu tahun lebih saya matikan gawai sekitar jam 8 malam. Kecuali sedang ada tanggung jawab yang tidak bisa menunggu. Sudah dari awal gawai saya selalu dalam silence mode. Saya merasa sangat terganggu dengan bunyi atau getar dari semua notifikasi. Kalau silence mode, saya merasa punya kuasa untuk menentukan kapan harus baca. Tapi ada kekurangannya juga; karena saya jadi jaraaaaang sekali angkat telepon. Hehehe.
Pernah ada masa dimana saya hidup bersama gawai saya. Saya bawa dia dekat tempat tidur, saya buka email jam 3 pagi dan membalas di jam itu. Saya tahu persis kalau boss saya yang kerja di Belanda suka memberikan email berat jam 10an malam waktu Belanda –berarti sekitar jam jam 2 atau 3 pagi — dan saya merasa harus buka dan balas tidak lama setelah dia email.
Untung sudah tidak lagi.
Sudah lebih dari satu tahun, saya juga menghindari ikut di grup grup yang saya tidak kenal orangnya. Apalagi grup via whatsapp yang dianggap lebih dari sekedar koordinasi atau berbagi info. Kalau proses pengambilan keputusan atau membahas ideologi dilakukan di whatsapp, mending saya out deh.
Buat saya, harapan teknologi komunikasi ini bisa secara penuh menggantikan peran interaksi langsung itu non-sense. Kecuali sudah mengenal luar dalam dan punya ritme yang saling paham, jangan sekali kali menggunakan whatsapp group untuk memutuskan hal yang penting. I had bad experience with this.
Lucu ya. Padahal saya kerja di isu teknologi dan kebijakannya. Tapi saya benar-benar hati-hati memaknai teknologi. Salah satu yang bikin saya lega adalah karena pernah baca bahwa CTO dari Cisco, setahu saya juga selalu punya 1 hari di weekend untuk tidak akses teknologi. Padahal dia Chief Technology Officer di perusahaan network terbesar dunia.
Saya percaya, when you want to keep your sanity please consider how you use your gadgets. Sudah banyak sekali riset menunjukkan betapa depresinya orang yang menggantungkan kebahagiaan, memberikan definisi dirinya diatas social media. Baik itu facebook, path, twitter atau Instagram. Kalau menunggu “like” itu sudah deg-deg an, hati-hati.
Bisa saja saya salah. Tapi kegiatan pengurangan penggunaan gawai itu membawa dampak baik pada saya. Saya bisa tidur lebih nyenyak dan punya hidup yang lebih “berarti”. Saya juga baru sadar, sahabat-sahabat terdekat saya tidak punya akun twitter –saya cek twitter paling sering dibanding socmed lain. Dengan sahabat dekat saya, jarang sekali kita saling tag di facebook dan atau yang lain. Tapi mereka adalah orang-orang pertama yang saya kabari dan saya tunggu kabarnya. Hanya whatsapp group mereka dan keluarga inti yang saya cek secara rutin.
Nah, setelah 12 hari punya jadwal yang sangat longgar di saat cuti ini serta waktu panjang buat cek social media, membuat saya kembali merasa less meaningful. Sepertinya sudah saatnya kembali detach dengan gawai. Salim. 😀