Facebook dan LGBT
22 Februari 2016, akun @fahiraidris mengeluhkan postingnya soal LGBT dihapus dari Facebook. Dikutip oleh Republika, Fahira Idris mengungkap Facebook yang berasal dari Amerika seharusnya membuka kebebasan berekspresi, tetapi justru diskriminatif terhadap hal-hal yang tidak sesuai dengan kebijakan mereka.
Gegap gempita kecaman terhadap Facebook dan tindakan diskriminatifnya –paling tidak menurut mereka anti LGBT– membuat saya ingat atas buku Rebecaa MacKinnon tahun 2012 yang judulnya Consent of the Networked. Dalam buku itu, dia menjelaskan bagaimana perusahaan seperti Facebook dan Google menjadi kedaulatan yang berbeda dan berdiri sejajar (atau bahkan diatas) kedaulatan negara. Dalam buku Rebecca, ketika kita menggunakan Internet untuk perubahan sosial seperti yang terjadi di Tunisia, maka yang harus kita “lawan” bukan hanya negara; tetapi juga perusahaan besar yang menjadi platform berjuang –seperti Facebook dan Google.
Perlu kita sadari bahwa Internet membuat banyak sekat terbuka. Semua sejajar di Internet, bahkan jumlah pengikut Presiden Indonesia (@Jokowi) hanya setengah akun Sherina (@sherinasinna). Internet membuat kedaulatan sebuah negara menjadi tidak stabil, karena jurisdiksi negara jadi kacau setelah ada Internet yang cross border. Undang-undang negara A yang harusnya berlaku di sebuah negara A menjadi sulit diaplikasikan bila berbenturan dengan Internet. Kenapa? Karena ada entitas lain, yaitu perusahaan yang menggunakan Internet dengan badan hukum di negara lain, memiliki kuasa yang sungguh dasyat dan beroperasi global, membuat kebijakan sendiri.
Facebook punya posisi yang sangat jelas terhadap LGBT, seperti bagaimana sikapnya terhadap ucapan kebencian. Tahun lalu, Facebook, Nike, American Airlines dan General Mills telah menyatakan sikap untuk anti diskriminasi terhadap LGBT di dunia kerja. Facebook juga mendukung keputusan Mahkamah Agung di Amerika untuk pernikahan sejenis. Lalu apakah salah? Tentu tidak. Facebook berbadan hukum Amerika dan mengikuti standar serta Undang undang di Amerika dimana semua hal ini adalah legal.
Tapi apakah kita bisa protes? Tentu saja. Tapi protesnya harus ditujukan dengan jelas ke siapa. Salurkan protes bukan pada mereka yang berbasis di Indonesia, yang pro terhadap LGBT karena buat Facebook, pro atau anti LGBT hanyalah sekelompok data. Semua pengguna Facebook buat mereka adalah sekelompok orang yang cinta platform yang dia buat, menggunakannya dengan sangat “relijius” dan memberikan data pribadinya dengan cuma-cuma.
Salurkanlah protes langsung ke Facebook. Atau buatlah platform sendiri seperti yang selama ini banyak didiskusikan. Menurut saya ceruk pasar untuk Indonesia masih luas sehingga hal ini dimungkinkan.
Kembali ke wawancara di Republika, tidaklah tepat bila Fahira Idris mengatakan bahwa karena Facebook dari Amerika yang menganut kebebasan berekspresi maka semua harus diakui. Karena di dua entitas itu, baik negara Amerika dan perusahaan Facebook, LGBT adalah legal dan patut dilindungi. Justru bagi mereka, pihak yang anti LGBT adalah yang ilegal. 🙂
##
Atribusi gambar:
– Facebook dan LGBT, gambar diambil dari: http://islamedia.id/pemerintah-minta-facebook-blokir-konten-lgbt/
– Digital Sovereigns – gambar diambil dari: http://image.slidesharecdn.com/april18class-120423215130-phpapp01/95/digital-sovereigns-or-consent-of-the-networked-8-728.jpg?cb=1335218020