Ritual Bersyukur
Setiap malam, kami sekeluarga punya ritual bersyukur. Kebiasaan ini dimulai sekitar satu tahun lalu, awalnya karena saya dan suami melihat anak-anak sering menyepelekan “keberuntungan” mereka dan mulai menunjukkan tanda menuju anak yang “gengges” (atau mengesalkan, seperti … bertindak macam tuan putri). Suami saya kemudian mengusulkan untuk membuat ritual bersyukur dengan menyebut hal-hal yang paling disyukuri hari ini.
Malam hari memang saat penting buat keluarga kami. Kruntelan kami dimulai setelah semua orang sampai rumah. Sekitar jam 8 malam –bisa mundur sesuai keadaan– adalah masa dimana semua sudah lepas dari gadget dan ada di kasur. Kebiasaan ini sudah sangat menyatu di keluarga kami dan untuk itulah saya dan suami sering menghindari rapat di malam hari, tentu … bila bisa.
Ritual ini dimulai beberapa saat menuju tidur saat semua kewajiban selesai. Beberapa kali terlupakan dan kadang saya sudah mau tidur saja karena lelah. Lucunya, sudah sekitar dua minggu belakangan ini, anak-anaklah yang meminta kami untuk menghitung rasa syukur. Kami menyebutnya, “3 hal”, walaupun bisa berakhir lebih dari hanya 3 hal yang disyukuri.
Menarik melihat bagaimana anak-anak memaknai 3 hal mereka. Awalnya 3 hal mereka berbentuk “fisik”. Ketika mereka dapat hadiah, makan enak yang mereka suka, dapat nilai bagus atau semua yang terkait dengan kebahagiaan karena materi, karena sesuatu yang tangible atau terlihat mata. Seiring dengan waktu, mereka mulai mengatakan hal-hal yang non material seperti, “senang karena bisa main sama Kakak”, “senang karena nggak berantem sama kakak”, atau “senang karena Ayah nggak jadi pulang malam”.
Belakangan ini, mereka juga mulai memaknai 3 hal dari kebahagiaan orang lain. Saya suka tersenyum bila Adek mengatakan “senang karena Kakak jadi narrator di big assembly” atau kakak yang mengatakan, “senang karena Adek sudah nggak sakit lagi”.
Nice and sweet.
Ritual 3 hal ini lama-lama menjadi bagian dari perjalanan spiritual saya pribadi secara lebih mendalam karena saya makin menyadari bahwa what matters most for me are the non materials. Misalnya, bukan pekerjaan yang selesai tepat pada waktunya, deadline yang terpenuhi, pujian dari orang terhadap karya kita atau bahkan beli sepatu yang keren banget. Bukannya semua hal itu tidak penting, tetapi ketika malam hari dan saat kruntelan dengan mereka, rasa bahagia itu ternyata hal-hal sederhana yang terkait dengan terhadap hubungan kita.
Hal ini mengingatkan saya terhadap riset yang dilakukan oleh Universitas Harvard. Riset yang dilakukan selama 75 tahun dengan 724 laki-laki –dan 60 orang masih hidup sampai sekarang. Riset ini bertanya soal satu hal, yaitu what makes life happier and healthier. Mereka menemukan bahwa apa yang membuat orang lebih bahagia dan sehat adalah relasi dengan orang-orang yang penting di sekitar kita. Tidak harus di pernikahan –karena banyak juga yang mengalami kesulitan di pernikahan—tetapi dengan mereka yang berperan penting dalam hidup kita. Ini videonya kalau mau lihat ya: “What Makes the Good Life?”
Saya makin menyadari bahwa anak-anak ternyata sangat mensyukuri kalau orang tuanya tidak pulang malam. Kalau kita habis main seru di saat kruntelan, maka itu menjadi hal yang mereka syukuri dan selalu ada di salah satu dari 3 hal –atau seringkali jadi 4, 5, 6 hal—untuk mereka. That designated time from 8.30 PM onwards matters a lot for them.
Ritual 3 hal ini menempa saya dan keluarga untuk untuk selalu merasa bersyukur di tengah kehidupan yang makin tidak mudah. Buat saya pribadi, menjadi sarana penting untuk tetap waras, karena terus menerus menjadi pengingat untuk apa yang paling penting untuk diperjuangkan. #
Nice 🙂
Tulisan Bagus Sitha.. Mengingatkan kita agar selalu bersyukur
Thanks, Riri dan mbak Utami… *salim*
Suka banget mba.. *contek ah 🙂
Boleh banget dooong. Akan lucu mendengar apa yang mereka suka dalam sehari. Kalau anak-anakku, selalu ada “Bunda/ Ayah pulang cepat”. hehehehehe.