Ulasan Buku: “Beban” Warga Digital
Resensi Buku:
Digital Cosmopolitans
Dimulai dari sebuah buku karya Howard Rheingold, The Virtual Community. Di sebuah bab yang berjudul “Real-Time Tribes”, Rheingold menawarkan sebuah harapan –setelah pengalamannya berinteraksi di Internet Relay Chat (IRC)—bahwa, “the online dialogues will be more fair, more inclusive, and more global than those we’ve known before” (terjemahan bebas: dialog yang terjadi secara online akan menjadi makin adil, makin inklusif dan makin global dari yang kita kira sebelumnya).
Jauh sebelum Rheingold, ada harapan lain soal dialog yang lebih terbuka setelah ada medium yang bisa mendekatkan orang dari beragam budaya. Ketika itu, Nikolas Tesla pernah memprediksi harapan yang lebih besar untuk radio, “when wireless is perfectly applied the whole earth will be converted into a huge brain… We shall be able to communicate with one another instantly, irrespective of distance” (terjemahan bebas: ketika teknologi tanpa kabel sudah diaplikasikan sempurna maka bumi akan menjadi satu otak yang sungguh besar; karena semua manusia bisa berkomunikasi secara langsung dan segera, tanpa halangan jarak).
Seandainya semua bisa semudah itu.
Keberadaan medium yang dianggap menyatukan itu tidak serta merta membawa dialog yang lebih inklusif. Kita banyak melihat secara konkrit yang terjadi justru sebaliknya. Indonesia dan Pemilu Presiden tahun 2014 adalah salah satu contoh konkrit bahwa adanya Internet malah memperbesar suara terbagi dua dan bahkan berdampak pada hubungan antar pribadi.
Kembali ke buku ini. Ethan Zuckerman, sang penulis yang menurut saya jagoan dan rendah hati, mengingatkan ada banyak prasyarat yang memungkinkan mimpi dialog inklusif menjadi kenyataan.
Karena, kendati kita sudah punya Internet yang memungkinkan kita punya ribuan cara berkoneksi, kita seringkali tetap mengakses situs yang sama, yang sangat personal dan terkait dengan apa yang ingin kita ketahui. Internet memungkinkan kita untuk mengetahui apa yang kita INGIN ketahui, tapi tidak cukup kuat untuk membuat kita mempelajari apa yang SEHARUSNYA kita perlu ketahui.
Ethan menawarkan beberapa cara, tentu dengan cara bertutur layaknya akademisi yang panjang serta kompleks , tentang bagaimana kita sebagai warga negara dunia harus berperan lebih aktif memanfaatkan Internet. Dia meminta kita untuk REWIRE dari diskoneksi yang telah terjadi. Apalagi, karena Internet telah memungkinkan kita menjadi warga kosmopolit; dimana batas negara tidak menjadi penting, karena bisa menjadi satu apabila punya ideologi atau sesuatu yang dibagi bersama.
Beberapa hal yang dia anggap penting adalah, membaca media yang beragam. Cobalah untuk tidak membaca apa yang kita anggap perlu, tapi penting untuk kita ketahui. Dia memberi satu bab khusus tentang Global Voices, sebuah situs media yang datang dari netizen. Global Voices tidak hanya “me against mainstream media”, tetapi berisi para penerjemah yang dengan rajin dan pro bono menuliskan kembali dalam bahasa lain, agar cerita menyebar lebih luas. Para penerjemah ini bukan hanya berjasa di soal menerjemahkan, tetapi lebih kompleks dari itu, berperan sebagai jembatan bagi orang lain untuk memahami konteks berita. Dan itu lebih dalam dari sekedar terjemahan.
Ethan membuat satu bahasan khusus soal serendipity. Bukan cerita romantis yang memberikan kejutan menyenangkan, tetapi pentingnya kita menciptakan kebetulan-kebetulan via tindakan yang random, yang tidak familiar. Dia kasih contoh perdebatan soal kota. Ada mazhab yang percaya semua dicampur saja misalnya perumahan, kantor, pertokoan agar kemungkinan pertemuan orang berbeda-beda itu dimungkinkan versus mazhab yang sangat terstruktur. Karena perjumpaan-perjumpaan acak itu akan membuat kita makin mengenal sesuatu yang jauuh dari kebiasaan kita.
In a nutshell, dia minta kita untuk lebih aktif mengenal atau mencoba memahami apa yang berada di luar zona nyaman kita. Karena, Internet memungkinkan kita bertemu dengan yang berbeda dan yang berbeda itu belum tentu nyaman, maka penting untuk membiasakan. Begitu. Sulit ya.
Kalau kita percaya Internet lebih banyak manfaat daripada mudharatnya seperti mimpi Rheingold atau Tesla, maka kita perlu melakukan sesuatu. Lebih mengenal diluar zona nyaman, lebih berusaha memahami perbedaan. Simpelnya, we need to rewire.
Repot ya kalau sifat internet yang notabene serba open tidak disadari oleh penggunanya.
Internet emang seperti dunia baru yang harus kita pelajari beragam dimensinya. Kompleks niaaaan…
Menarik mbak tulisannya njenengan rupanya menjawab pertanyaan2 ttg zona nyaman sy yg beradu dgn pendapat org2 yg saya follow. Yes we need rewire
seperti memutus lingkaran setan; dimana kita hanya ingin mendengar apa yang sesuai dengan kita. aku terus terang belum nyaman follow orang-orang yang sungguh beda. mas pramono udah? 😀
he eh ya, perlu membiasakan diri dengan keragaman, yang membebalkan sekalipun.
Secara tidak sadar kita membuka sendiri semua identitas diri kita di media sosial, jadi sekarang harus menyalahkan siapa? Media sosial hanyalah perantara, interaksi dan komunikasi yang terjadi juga kurang lebih sama dalam kehidupan nyata cuma bedanya ini via dunia maya. Nice share Mbak… 🙂
Internet ini memang barang “baru”. Membawa banyak harapan tentang adanya konektivitas dan otak besar sedunia (seperti kata Tesla) atau seperti sekarang ini.
😀