Menjejakkan Open Data (Data Terbuka)
Beberapa orang senior di gerakan data terbuka bilang, bahwa gerakan ini biasanya diawali dengan antusias, lalu menjadi sedikit skeptis, dan berakhir jadi skeptis sejati. Mereka menjadi skeptis karena dampak data terbuka sangat lamban. Perjalanan data terbuka bukan hanya di soal penyediaan data tetapi juga penggunaannya. Belum lagi bila disambugkan ke isu privacy atau kepada siapa data itu akuntabel. Ujung-ujungnya memang pada dampak yang terasa lamban dan tercerai berai.
Dari awal saya memasuki isu data terbuka ini, saya emang tidak mau terjebak dalam pertanyaan either or, menjadi sangat kanan atau sangat kiri. Menjadi kritis itu perlu tetapi total skeptis bikin hidup agak susah.
Data terbuka biasanya bisa berjalan dengan dua komponen utama, persyaratan teknis terpenuhi dan ada kebijakan yang mendukungnya. Kendati dua hal itu relatif mutlak, tetapi ada hal yang lebih penting: ekosistem. Perlunya ekosistem yang saling melengkapi karena perlu peran berbeda juga keinginan untuk kolaborasi adalah salah satu cara ampuh mencapai dampak.
Ketika data disediakan, maka proses penyediaan data itu sebenarnya membutuhkan proses kerja yang berbeda. Ketika kantor saya harus membuka data soal kemana saja bantuan disalurkan dan untuk kepentingan apa, maka kita tidak bisa lagi pakai jargon membosankan atau hanya kita yang tahu seperti, “perubahan di sektor xxx”. Kalau data itu keluar dan orang membaca, mana ngerti? Secara sistematis kita harus memilih kata yang dimengerti khalayak umum.
Di kantor Pemerintah Jakarta, ketika Pak Jokowi –waktu itu masih jadi Gubernur—deklarasi mau membuka datanya, mereka juga mengeluarkan Peraturan Gubernur No 181/ 2014 berjudul Sistem dan Prosedur Pengelolaan Data dan Informasi Pembangunan yang mengatur soal proses internal di Pemerintah Jakarta. Peraturan ini bertujuan (diantaranya) untuk membuat basis data yang akurat dan bersatu serta terbuka agar bisa menciptakan inovasi.
Apa yang terjadi di Pemerintahan Jakarta hanya adalah satu bagian dari ekosistem yang harus berjalan.
Bagaimana dengan kalangan pengguna data? Minggu lalu, Making All Voices Count membuat lokakarya pendek untuk para wartawan terkait dengan penggunaan data terbuka. Ada beberapa kalangan yang berbeda skill nya disatukan dalam lokakarya itu. Ada wartawan, data scientist, jurnalis senior dan pendukung ekosistem seperti macam MAVC untuk melihat bagaimana data bisa berguna bagi kerja jurnalistik. Sepanjang hands-on session, para jurnalis itu terbata-bata membaca data dan mengkaitkannya dengan pemberitaan. Kalau ada data yang menarik, bagaimana dengan news-peg nya. Kalau ada news-peg yang sudah jelas, dimana datanya dan bagaimana membacanya? Dalam lokakarya selama 6 jam itu, kami sadar bahwa jurnalis tidak bisa bekerja sendiri; ada data scientists yang harus ikut, ahli grafis kalau kemudian mau digambarkan secara mudah atau bahkan developer program yang bisa membuat visual interaktif.
Kompleks. Tapi seru.
Di bagian lain, organisasi seperti Publish What You Pay Indonesia (PWYP Indonesia) sudah mencoba untuk mengolah data terbuka di sektor ekstraktif. Mereka punya satu data scientist yang berupaya untuk memperkenalkan bagaimana data terbuka di sektor itu bisa diolah dan kemudian, mencoba membuat advokasi berbasis data.
Seperti tulisan saya sebelumnya, “Open Data, buat Apa?” maka perspektif data terbuka di Indonesia itu lebih kepada keterbukaan data pemerintah untuk tujuan transparansi dan akuntabilitas. Kita melihat contoh konkrit soal itu di kawalpemilu; tetapi juga di PWYP Indonesia.
Satu fakta seru lagi.
Tahun 2014 Indonesia naik 16 peringkat dibanding tahun 2013. Indonesia naik paling tinggi dibanding semua negara yang diukur dalam Open Data Barometer. Di tengah kisruh KPK dan Polri, buat saya berita ini sungguh menyenangkan karena memberi harapan soal transparansi dan akuntabilitas di Indonesia.
Kalau mimpi ini mau diteruskan dan makin banyak cerita kecil terkait data terbuka maka dampak lebih besar akan terasa.
Jadi, kepada mereka yang tertarik data terbuka, para lulusan teknologi informasi, jurnalis, organisasi masyarakat sipil, enterprenuer, kelompok bisnis, mereka yang mengaku innovator, akademis murni dan pemerintah, mari kerja bersama!
Data terbuka bukan hanya persoalan teknis dan legislasi, tetapi juga kerjasama. Ada beragam keahlian yang dibutuhkan agar kita bisa menjejakkan data terbuka. Ada kemampuan teknis, kebijakan publik, kemampuan mengemas baik narasi ataupun grafis dan tentu saja bicara kepada mereka yang membutuhkan.
Open data tidak menjadi berarti bila data yang disediakan tidak berguna. We need to make open data as actionable as possible.
Dengan Pak Jokowi menjadi Presiden dan disebutkannya banyak hal di Nawacita yang ada relasinya dengan data terbuka, maka saya yakin, saya tidak terlalu pesimis.
Mari kita buat data terbuka di Indonesia menjadi lebih berarti. Bukan hanya masalah pencitraan apalagi buang-buang uang.
Yuk.
ps: kalau saya ngomong data terbuka maka terbatas pada data yang disediakan pemerintah seperti data.go.id ya.
Semangat mbak
terimakasih mbak. masih semangat kok. masih panjang jalannya. 😀
Pandangannya menarik, mbak Shita Laksmi. Satu alternatif pekerjaan buat para programer: menjadi bagian dari tim wartawan investigasi, khususnya dalam membangun dan menganalisa data. Jadi bagian dari frontline, ketimbang sekedar back office support ya? (Sorry, sekedar pemikiran aja, maklum bukan wartawan 🙂 )
bener banget! open data itu hanyalah data yang akan meaningless bila tidak dimaknai. penting untuk memaknainya. 😀 makasih ya sudah mau berkunjung.
My pleasure 🙂