“Business” with pleasure in Manchester

A happy moment, last day @Manchester Univ

Empat minggu di Manchester adalah empat minggu cuti sabbatical saya. Wikipedia bilang, sabbatical itu adalah, “Sabbatical or a sabbatical (from Latin sabbaticus, from Greek sabbatikos, from Hebrew shabbat, i.e., Sabbath, literally a “ceasing”) is a rest from work, or a hiatus, often lasting from two months to a year. The concept of sabbatical has a source in shmita, described several places in the Bible (Leviticus 25, for example, where there is a commandment to desist from working the fields in the seventh year). In the strict sense, therefore, sabbatical lasts a year.”

Sabbatical perlu waktu satu tahun sementara cuti sabbatical saya hanya bisa satu bulan alias empat minggu. Empat minggu saya habiskan di University of Manchester sebagai Academic Visitor di Manchester Institute of Innovation Research (MIOIR) . Buat saya, empat minggu ini rasanya kuraaaang sekali walaupun menurut supervisor saya, Dr. Yanuar Nugroho saya termasuk academic visitor paling produktif yang pernah ditemuinya. Hehe.

Karena ternyata, memang perlu waktu membiasakan pikiran dan cara bekerja dari kebiasaan bekerja di kantor ke bekerja di kampus yang dipenuhi buku dan suasana riset. Perlu mengubah kebiasaan dari yang selalu diburu-buru dan dikejar waktu ke kebiasaan untuk melihat satu persoalan lebih dalam, punya untuk membaca, riset dan reflektif. Perpindahan dari satu mode of working itu ternyata butuh waktu panjang.

Minggu pertama saya habiskan dengan membentuk kebiasaan. Karena saya tidak berkantor (office-less) alias kantor saya ada di tas laptop, maka saya harus menentukan dulu tempat favorit. Beberapa tempat favorit sepanjang perjalanan seminggu itu adalah:
– pojok World Café lantai 5. Sayangnya jam tujuh malam sudah diusir karena harus tutup
– Christie Café walaupun harga kopi yang agak mahal
– Eddie Davies library, enak sekali kalau kalau toilet dekat dan aman meninggalkan laptop
– PhD Suite alias nebeng ruang Mirta kalau mahasiswa PhD lain tidak di sana karena bisa nyanyi-nyanyi dan printing
– Ruang supervisor alias ruang mas Yanuar terutama kalau ada suguhan teh pokil
Di tempat-tempat favorit itulah saya mencoba untuk mengerjakan apa yang seharusnya seorang Academic Visitor lakukan: BELAJAR.  Ha.

Minggu kedua sampai keempat setelah kebiasaan saya sudah mulai teratur tantangan berikutnya muncul.  Waktu empat minggu itu tidak cukup untuk membuat satu tulisan jurnal internasional walaupun proses pembuatannya sudah dengan orang sekaliber Yanuar Nugroho. Ternyata prosesnya sulit dan perlu proses pemikiran yang panjang.  Berbeda dengan penulisan paper biasa, pembuatan ini perlu lebih matang karena harus matang dari teori  dan kasus. Saya perlu download banyak jurnal, perlu baca buku, perlu mensarikan ide dan ngobrol panjang tentu saja dengan mas Yanuar. Dan semua itu juga belum membuat tulisan itu selesai. Untungnya, at the end of my sabbatical, we have made quite a solid outline for two different papers. Dengan pandangan positif di tengah kesibukan kerja yang menggila setelah April, kami berdua yakin bisa menyelesaikan dua tulisan itu di akhir tahun.

Minggu kedua sampai keempat juga dihabiskan dengan presentasi soal hasil riset bersama Hivos dan Manchester University di dua tempat, di University of Manchester dan Salford University. Saya juga presentasi soal apa yang selama ini Hivos lakukan dalam kerja ICT for development-nya di workshop yang diadakan oleh CDI, Center for Development Informatics.  Seru.

Bersama Jimmy dan Mirta di kantin favorit

Satu hal yang menyenangkan adalah dalam waktu tiga minggu itu, saya, mas Yanuar, Mirta dan Jimmy berhasil menyelesaikan 70% proposal kerjasama yang minggu lalu kita presentasikan ke sebuah lembaga dan dapat positive feedback. Yay! We still have to revise those documents, tapi kemungkinan besar kita bisa jalankan proposal itu. Penulisan proposal ini seperti menuliskan mimpi pribadi karena sebagaian hal yang terkait dengan media development research yang saya impikan ada di proposal ini. Lebih menyenangkan karena di Manchester, sparring partner untuk diskusi adalah para jagoan riset yang bisa menata impian jadi sebuah TOR riset yang handal. Thanks a lot para sparring partners saya disana.

Di hari terakhir saya, selain menghabiskan setengah hari untuk foto-foto bersama Mirta dan Tisha, satu tulisan untuk The Jakarta Post selesai. Tulisan itu dibuat bersama dengan mas Yanuar selama kurang lebih dua jam. Setelah tulisan selesai, saya langsung jalan-jalan sama Mirta ke Museum Science di Manchester. Aih, senangnya!

Kalau ada teman yang bertanya, “How’s your sabbatical, Shita?”, maka jawaban saya adalah, “It was great and four weeks is not enough.” I really wish that I can add another four weeks to finish some of my un-finished “business” since the journey was really full of “business” with pleasure.

  • May 15, 2011