Radio komunitas, di konteks global
Tahun 2001, dua peneliti yaitu Eryl Price-Davies dari Inggris dan Jo Tacchi dari Australia melakukan studi banding radio komunitas di enam negara, yaitu Australia, Kanada, Perancis, Belanda, Irlandia dan Afrika Selatan.
Hasil penelitian ini diajukan sebagai bahan untuk pemerintah Inggris, saat Inggris ingin membuka bentuk lembaga penyiaran baru, yaitu penyiaran komunitas.
Mumpung penyiaran komunitas di Indonesia masih dalam tahap awal, beberapa hal di penelitian ini menarik untuk dicermati sekaligus dipelajari. Saya meringkas beberapa kasus atau rekomendasi yang saya anggap penting dan sesuai dengan keadaan Indonesia saat ini.
1. Definisi radio komunitas, di undang-undang dan peraturan
Di Indonesia, awal perkembangan radio komunitas lebih dikenal sebagai radio warga atau untuk komunitas yang tinggal di wilayah tertentu. Di perkembangannya, kita mulai mengidentifikasi radio komunitas yang melayani kepentingan tertentu seperti perempuan atau pendidikan. Radio untuk pendidikan, biasanya dilakukan oleh sekolah (bukan kampus) banyak hadir di Jawa Tengah dan Sumatera Barat.
Menurut Eryl dan Jo, memang ada kebingungan saat melakukan definisi karena perkembangannya yang beragam. Selain soal apa itu ‘komunitas’, ada kebingungan saat muncul istilah ‘access radio’ yang menggambarkan semua medium yang melayani kepentingan khalayaknya bisa disamakan dengan radio komunitas. Kalau begini cara pandangnya, maka swasta bisa menjadi radio komunitas juga.
Oleh karena itu, Eryl dan Jo merekomendasikan prinsip dasar radio komunitas. Bahwa radio komunitas harus memenuhi empat prinsip, seperti:
-
Tujuannya betul-betul non-profit (radio untuk wilayah geografis tertentu atau kepentingan atau hobi yang bertujuan komersial jelas tidak bisa melamar izin komunitas)
-
Diperuntukkan untuk melayani satu komunitas tertentu, bisa secara geografis atau kepentingan
-
Struktur manajemennya harus mencerminkan keterwakilan komunitas yang dilayani
-
Memberikan program yang merefleksikan komunitasnya.
2. Pendanaan
Prinsip utama untuk pendanaan radio komunitas adalah keberagaman sumber. Semakin beragam, maka keberlanjutan radio semakin terjamin. Radio komunitas yang melulu bersumber hanya pada dana hibah atau hanya iklan, akan mengalami kesulitan.
Banyak kemungkinan sumber dana untuk komunitas, mulai dari iklan, sponsor, dana hibah, iuran anggota, donasi, peminjaman alat atau penyedia jasa.
Khusus untuk iklan, agar tidak bertabrakan dengan iklan komersil ada beberapa kriteria perbedaan. Iklan yang mengikuti kriteria berikut dijamin oleh Eryl dan Jo tidak akan mengancam pemasukan radio lokal:
-
Iklan lowongan kerja di wilayah layanan
-
Iklan tentang kegiatan yang ada di wilayah layanan
-
Iklan dari badan usaha yang berada khusus di wilayah layanan
-
Iklan penyedia jasa yang diberikan khusus di wilayah layanan
Kalau radio komunitas tidak melanggar prinsip ini, maka badan regulasi tidak perlu ikut campur atau khawatir dengan radio komunitas.
Hal menarik untuk dipelajari adalah, karena banyak radio komunitas yang harus berjuang untuk keberlanjutannya, Eryl dan Jo merekomendasikan agar negara perlu menyediakan sumber dana yang bisa mensubsidi –bukan mendominasi—pembiayaan radio komunitas.
Seperti yang dilakukan oleh Australia. Mereka membentuk organisasi independen –independen dari pemerintah atau radio komunitas sendiri. Organisasi ini mendapatkan dana rutin dari Kementrian Informasi, Teknologi Informasi dan Kebudayaan. Dana itu kemudian disebarkan untuk radio yang telah mendapatkan izin.
Dukungan macam ini mengingatkan saya atas Radila FM, radio di Nagari Dilam, Solok, Sumatera Barat. Pengurus radio ini telah berhasil menelurkan kesepakatan dengan pemerintah nagari sehingga sebagian dana operasional radio disubsidi oleh pemerintah. Dengan catatan, sebelum ada kesepakatan dana, semua pihak sudah setuju untuk menghormati independensi radio.
Eryl dan Jo juga mendaftar beberapa sumber lain seperti:
-
Dana dari keuntungan radio lokal yang bisa dikelola oleh pemerintah pusat
-
Lembaga dana, yayasan sosial dan donasi
Para peneliti itu juga menyarankan agar pengaturan dana untuk radio komunitas dilembagakan. Di dalam penelitian, organisasi itu mereka sebut “Media Fund” (dana untuk media).
3. Frekuensi
Frekuensi yang direkomendasikan untuk digunakan maksimal adalah FM. Bila FM tidak lagi tersedia, para pengaju radio komunitas bisa menggunakan AM. Di negara-negara itu terdeteksi bahwa semua penyiaran komunitas jangkauan siarnya terbatas yaitu sekitar 7,5 kilometer. Untuk Indonesia, yang keadaan geografinya unik, masalah jarak tentu masih bisa dinegosiasikan.
Yang patut dicermati adalah akses komunitas untuk mendapatkan izin frekuensi dibuat secara terbuka dan fair. Interpretasi saya atas ide itu adalah tidak adanya alokasi khusus untuk komunitas, seperti yang dilakukan di Indonesia (terbatas pada 107,7; 107,8 dan 107,9 FM). Jadi, pembagian alokasinya dibuat bebas, sesuai dengan kondisi masing-masing daerah.
Para peneliti juga sangat menyarankan agar izin frekuensi diberikan secara gratis mengingat kemampuan penyiaran komunitas dalam memperoleh dana, terbatas.
Yang menarik, telah muncul juga alternatif teknologi lain untuk menjangkau komunitas seperti kabel, satelit dan internet. Bahkan di Belanda, radio komunitas bisa melamar izin untuk FM sekaligus kabel. Dari 336 penyiaran komunitas disana, ada 100 lembaga yang melakukan siaran radio (di FM) sekaligus siaran televisi melalui kabel. Menarik ya?
Rekomendasi ini mengkonfirmasi ide dari beberapa radio komunitas seperti radio Shakti FM di Banjarnegara yang mau mencoba siaran televisi. Ini masih dalam taraf ide, dan sepertinya mereka akan menggunakan frekuensi bukan kabel.
***
Membaca pengalaman enam negara itu, saya harap kita bisa mengambil pelajaran berharga. Bahwa penyiaran komunitas sudah lama ada di dunia, dengan beragam konteks.
Indonesia, tentunya, bisa mengambil ide yang baik –seperti ‘Media Fund’, frekuensi yang tidak terbatas alokasinya dan iklan lokal untuk dikembangkan di sini.
Setuju?
* Tulisan ini pernah dimuat di Kombinasi (terbitan bulanan khusus yang terkait dengan radio komunitas)
Berbicara tentang radio komunitas atau lazimnya disingkat rakom ini memang menarik, khususnya di Indonesia yang masih minim dalam men-diseminasi informasi sampai ke pelosok daerah.
Baru-baru ini ada kabar bahwa Papua sudah mempunyai TV lokal swasta yang tujuanya untuk men-diseminasi informasi pembangunan di tanah Papua kepada seluruh penduduk di Papua. Namun dibalik pembuatan TV swasta yang hampir dipastikan menelan biaya yang tidak sedikit itu, apakah akan efektif dan efisien menjangkau seluruh penduduk di Papua? Kita semua tahu bahwa masih banyak penduduk Papua yang tinggal di pedalaman masih membutuhkan sandang, pangan dan papan. Jangankan untuk membeli sebuah TV, listrik pun belum tentu mereka nikmati…kebutuhan pokok pun mereka masih bingung harus mencari kemana.
Sungguh ironis memang kondisi saudara-saudara kita yang tinggal di pelosok sana, mereka bak terisolasi di sebuah wilayah yang hampa. Bagaimana mereka bisa maju dan berkembang jika akses untuk informasipun mereka tidak punya? Kita bisa lihat bahwa saat ini banyak para penguasa lokal yang berlomba-lomba untuk memajukan dirinya sendiri dan kelompoknya. Sementara penduduk lain dibiarkan hidup dengan keterbatasanya.
Papua hanyalah contoh kecil sebuah peradaban yang masih jauh tertinggal dibandingkan dengan wilayah di pulau Jawa ini. Masih ada banyak wilayah pedalaman yang belum terjangkau oleh pemerataan pembangunan yang digalakkan oleh pemerintah. Sadarkah kita bahwa akses informasi memegang peranan yang penting dalam sebuah pembangunan?
Radio merupakan jawaban untuk membuka akses informasi tersebut. Radio telah terbukti memberikan manfaat yang besar bagi umat manusia sejak jaman dahulu, bahkan sejak jaman perang dunia. Melihat perkembangan radio saat ini, telah banyak bermunculan radio swasta yang menyajikan program hiburan, informasi komersial, dan juga informasi-informasi penting lainnya. Rakom juga merupakan sebuah perkembangan media elektronik yang cukup efektif dalam men-diseminasikan informasi bagi sebuah komunitas masyarakat di suatu wilayah. Respon masyarakat terhadap rakom inipun cukup baik, terutama masyakarat yang tinggal di daerah. Mereka menerima banyak manfaat atas kehadiran rakom ini. Namun tidak mudah juga untuk me-maintain sebuah rakom ini, butuh sebuah loyalitas, keseriusan dan kebersamaan para anggotanya dalam menjalankan rakom tersebut. Rakom ini bisa menjadi sebuah solusi diseminasi informasi bagi masyarakat yang masih tinggal di pelosok daerah. Ini lah sebuah bentuk teknologi sederhana yang bisa memberikan banyak manfaat bagi masyarakat. Bisa dinikmati oleh pendengarnya kapanpun dan dimanapun dia berapa. Semoga kita bisa melihat lebih banyak lagi rakom bermunculan di daerah-daerah, bukan hanya karena latah-latahan, tapi memang untuk menjawab kebutuhan masyarakat yang haus akan informasi. Sukses untuk rakom…
merupakan inilah yang bisa menjadi alternatif diseminasi informasi saat ini
Untuk membangun sebuah rakom ini memang gampang-gampang susah. Namun jika sudah terbangun dengan baik, maka rakom tersebut bisa memberikan banyak manfaat, tidak hanya bagi komunitas tersebut, tapi bisa lebih luas dari itu
saya di campurdarat mulai tahun 1999 mendirikan radio komunitas pesantren yang namanya radio MADU FM di freq 1007.7 MHZ yang visi misinya dakwah dan hiburan. didalam undang-undang dan pp disebutkan bahawa radio tidak boleh memperoleh iklan, terus bagaimana untuk biaya perbulan dll. mohon diberi masukan
Radio komunitas di Indonesia memang tidak bisa mendapatkan dana dari iklan. Tetapi, masih bisa mendapatkan dana dari iklan layanan masyarakat, sponsor atau hibah. Jadi masih ada cara lain.
Tidak boleh mendapatkan iklan bisa dilihat dari sisi baiknya. Pengalaman beberapa radio komunitas di Afrika Selatan (tidak generalisir, karena saya hanya pergi ke tiga/empat radio komunitas), boleh beriklan mengakibatkan keinginan mereka untuk memperluas jangkauan siaran. Karena “more audience, more money”.
Akibatnya, kalau jangkauan terlalu luas, maka esensi ‘komunitas’ bahwa isi harus mencerminkan komunitas, rasa kepemilikan yang tinggi, jadi berkurang atau sulit di maintain.
Bagaimana pak?
Mbak Shita, tulisannya menarik. “Godaan” untuk menjadi “seperti radio swasta” pernah saya temui pada beberapa rekan yang mengelola radio komunitas. Yang diinginkan oleh beberapa rekan tersebut adalah bentuk program dan jarak jangkauan yang kalau bisa mengalahkan radio swasta. Jadi ukuran yang digunakan adalah format radio swasta. Kalau begitu yang terjadi, lalu bagaimana dengan prinsip “partisipasi” yang oleh banyak praktisi radio komunitas dikatakan sebagai “darah” radio komunitas? Mungkin keinginan tersebut muncul dari “gairah” yang meluap ketika bergelut dengan aktivitas radio komunitas. Syukurlah pada banyak radio komunitas, prinsip ini selalu menjadi pedoman.
Pada saat yang bersamaan, saya senang melihat dan mendengar rekan-rekan di Jaringan Radio Komunitas Indonesia dan jaringan radio komunitas lainnya untuk tetap bersemangat tinggi dalam mendorong keberadaan radio komunitas di Indonesia.
Salam
Anton Birowo
Saya mempunyai radio komunitas di pantai prigi daerah pesisir trenggalek namanya Madu fm trenggalek yang kebanyakan masyarakat sulit mendapatkan informasi terutama telivisi krn terhalang gunung shg komunitas kami mendirikan radio madu trenggalek. yang saya tanyakan bagaimana caranya mendapatkan informasi atau bantuan perangkat untuk mendapatkan informasi luar ( mis: internet, koran dll) karena kondisi geografis daerah kami yang pinggiran . apa ada LSM atau lembaga pemerintah yang bisa menangangi.trim
Bisa coba hubungi rekan-rekan yang tergabung dengan jaringan radio komunitas. Ada Jaringan Radio Komunitas Indonesia, ada yang lebih lokal seperti Jaringan Radio Komunitas Jawa Barat, Yogyakarta, Jawa Tengah. Silakan buka web: http://jrki.wordpress.com/ untuk informasi tentang hal itu.
Bisa juga hubungi Combine Resource Institution http://www.combine.or.id/, sebagai LSM yang lama bergerak di isu radio komunitas.
Semoga membantu ya!