MDGs dan Media Komunitas
Minggu lalu saya menghadiri Consultative Meeting yang diselenggarakan sama AMIC (Asian Media and Information Centre) di Rangsit University, Bangkok. Karena saya adalah periset dari Indonesia, saya harus presentasi hasil temuan saya bareng periset lain dari Thailand, Philippines, Malaysia, India dan Srilanka. Inti dari risetnya adalah melihat kerjasama dari media komunitas dengan media mainstream dalam mempopulerkan MDGs.
Dari hasil riset saya, terbatas hanya di Jakarta dan sebagian Jawa, jelas nggak ketemu adanya kerjasama ini. Tidak ada sharing content antara media komunitas dengan media mainstream, yang ada adalah kerjasama antara LSM dengan media mainstream dan atau komunitas. Tentu ada kerjasama antara media mainstream dengan komunitas, tetapi bukan sharing content, terbatas pada isu capacity building dan advokasi.
Dari rangkaian presentasi dan diskusi yang panjang (dan kadang menjemukan), ada beberapa hal pokok yang penting seperti:
– MDGs sebagai sebuah term MDGs adalah isu yang sulit dicerna. MDGs sebenarnya adalah tanggung jawab pemerintah ke PBB, jadi kalau mau melakukan mainstreaming, mind your audience! Kalau ke komunitas lokal, isu MDGS harus dilokalkan, dibuat lebih kontekstual. Toh, kemungkinan mereka sudah melakukannya dengan isu per isu.
– Masih terkait dengan term MDGs, MDGs adalah sebuah term yang terkait dengan isu realitas lapangan. Jadi, kendati media komunitas/mainstream nggak pakai term MDGs, tetapi sebenarnya masih relevan dilihat mempopulerkan MDGs
– Yang lebih penting dalam mempopulerkan MDGs adalah meminta pemerintah untuk menepati janji yang mereka sudah buat. And this is certainly not easy.
Enough for content. Sekarang ngomong soal jalan-jalan. Semua partisipan –walaupun sebagian sudah berumur diatas 40 tahun (kecuali saya yaaaaa)—bermoto, work hard, play hard. Habis conference, kita jalan-jalan cruising Chao Praya River dan besoknya ke pasar malam Suan Lum. Walaupun habis itu capek sekali karena Rangsit University itu letakknya puluhan kilo dari pusat kota –menghabiskan lebih dari 100 bath—tapi tetep fun. Menyenangkan juga karena i was with nice people. J
Ciao!
Halo salam kenal dari saya Rendra
saya hanya ingin menambah pengguna2 blog di blog saya tolong add blog saya di http://debianknoppix.wordpress.com/
Halo, salam kenal juga.
salam kenal mbak. Wah hebat. Mbak visit juga blos saya yach. mkasih
biarpun umur muda, tapi kumpulnya sama orang-orang tua diatas 40 tahunan. itu tandanya emang elu tuh berarti tuaaaaaaaaaaaaaaaaa……
siapa bilang dud??? siapa yang bilang??? 😀
Hallo Mba’… mudah2an masih ingat saya (yang kemarin jadi moderator saat seminar radio komunitas di Kendari, Sulawesi Tenggara bareng Mas Imeng dan Mas Errol).
Menurut saya, ide MDGs itu menarik untuk diperbincangkan tapi sulit untuk diwujudkan karena rasa2nya belum ada kesamaan langkah ke arauh itu.
Btw, saya jadi ingat Bangkok. Januari lalu saya dapat kesempatan ke sana. Presentasi riset juga di Kasetsat University. Malam naik restoran (kapal terapung) di Sungai Chao Praya. Sepanjang jalan kita dihibur tarian. Besok malamnya naik Tuktuk ke pasar malam Suan Lum. Eh, sempat naik Tuktuk juga kan?
Halo Bang Aswan,
Pastinya masih ingat. Apa kabar Bang?
MDGs is an interesting topic, tapi ya harus sesuai target ya (kalau ngomong soal strategi komunikasi).
Halo Shita,
Emang sih, aku juga melihat hal yang sama melihat hubungan antara Ornop dan Media Komunitas dalam konteks sharing content. Dari beberapa upaya yang dilakukan untuk mendekatkan, sepertinya sangat sulit melaksanakannya. Sepertinya ada masalah dalam aksesibilitas media komunitas terhadap konten dari onrnop. Padahal, aktifitas ini bisa saling menguatkan, baik komunitas maupun ornop.
Gimana ya menyelesaikan persoalan ini?
Sebenernya Syaldi, kalau si media komunitas sama LSM/Ornop itu di wilayah yang sama dan punya concern yang sama tidak terlalu sulit.
Yang agak sulit adalah hubungan yang on off. Jadi cuman kerja untuk isu tertentu dalam waktu tertentu habis itu nggak lagi. Tapi kalau si LSM itu terus dekat dan tahu persis kondisi komunitas yang dilayani radio/ media komunitas, jadi lebih mudah.
Soal budgeting, kita misalnya hanya bisa kasih pengetahuan dan assisst mereka, tapi biarkan mereka yang bikin progran yang paling sesuai buat komunitas mereka.
Mudah-mudahan gw nggak sotoy (sok tahu). Belajar dari riset ini, nurturing relationship adalah hal utama. 🙂
Sile loh kalau mau komentar …
Nah itu dia, jika melihat dalam tataran yang ideal, hubungan tersebut seharusnya dapat terjadi. Masing-masing, baik ornop maupun radio komunitas, punya posisi yang saling membutuhkan. Sudah seharusnya keterhubungan tersebut terjadi secara alamiah.
Jika budaya jejaring yang baik terjadi, walaupun hubungan mereka hanya terbatas pada tataran isu, seharusnya tidak masalah. Radio komunitas butuh konten, ornop butuh kanal. Nah, persoalannya sedikit sekali yang mengolah informasi yang ada. Aku dan Aquino pernah melihat bahwa dalam tataran ornop di Indonesia sampai saat masih ada yang namanya lingkaran setan informasi. Satu informasi hanya berputar di kalangan ornop tapa ada kanal keluar untuk masyarakat. Rakom kemudian hanya diposisikan tataran media pinggiran. Padahal dari perspektif strategis, justru mereka adalah ujung tombak informasi untuk masyarakat yang tidak terjangkau oleh indahnya dunia teknologi informasi.
Nah, terkadang memang ada persoalan ‘memaksakan’ isu masuk dalam satu komunitas. Tentu saja, semua informasi itu dibutuhkan oleh masyarakat, tapi seberapa penting untuk mereka? Mungkin mereka lebih membutuhkan informasi tentang pupuk daripada sekian banyak teori globalisasi yang menyesakkan otak mereka. Padahal problemnya adalah bagaimana mengangkat keterkaitan harga pupuk dan globalisasi.
Mungkin kita (ornop) dan rakom kudu sering duduk di depan teras sambil menikmati kopi dengan obrolan santai tentang persoalan komunitas… Ujungnya, bikin program sesuai kebutuhan.. 🙂