Dicari: Laki-laki Baru**
“As women must be empowered at work, men must be empowered at home”, Sheryl Sandberg.
Sebagai Ibu bekerja yang punya ambisi untuk bekerja untuk yang terbaik apalagi suka bepergian, saya merasa cocok dengan statement ini. π Katanya, orang memang hanya ingin mendengar apa yang mereka ingin dengar. Mungkin statement ini benar tapi mari kita coba menguji kalimat diatas.
Dalam kehidupan pernikahan, pada dasarnya ada dua orang yang berjanji bersama untuk menjalani kehidupan bersama. Dalam menjalani kehidupan bersama ini, ada rangkaian tanggung jawab yang harus dijalankan dan itu menjadi aktivitas yang membutuhkan waktu. Adalah tugas dari dua orang yang berjanji hidup bersama itu untuk membagi tugas yang adil dan sesuai dengan kebutuhan agar kehidupan bersama bisa berjalan mulus. Belanja mingguan, belanja bulanan, nganter anak ke sekolah, nganter anak ke dokter, menemani main dan mendidik anak adalah beberapa bentuk aktivitas itu.
Dua orang itu awalnya tidak harus berbagi tugas berdasarkan jenis kelamin. Tetapi ntah darimana (ada penjelasannya, tapi please do not ask me), tiba-tiba Ibu menjadi seperti orang yang paling tanggung jawab di dunia ini bila anaknya tidak beres. Tidak perlu disebutkan, tetapi saya sering sekali mendapat pandangan sinis ketika saya harus pergi keluar kota atau negeri. Baik ditanya, “sekarang anaknya sama siapa,” sampai “anaknya sepertinya sedih deh saat Ibu tidak ada.” Well. Sekarang sudah biasa.
Di saat kehidupan sudah membutuhkan double income dari pasangan orang tua, maka sebenarnya pembagian tanggung jawab harus menyesuaikan. Saya sudah melihat gejala ini di beberapa pasangan muda di Jakarta dan menurut saya itu keren. Karena sekarang tanggung jawab tidak berdasarkan pada jenis kelamin tetapi pada apa yang bisa dan apa yang disuka. Penulis proposal di kantor saya (laki-laki) bekerja di rumah lebih lama karena sambil jaga anak dibanding istrinya yang kerja kantoran. He is happy. She is happy.
Tetapi memang kebiasaan ini masih belum merata. Sheryl Sandberg di Lean In (buku yang menurut saya oke banget) mengutip riset soal jumlah waktu yang dihabiskan perempuan di rumah. Saya lupa persisnya halaman berapa, tetapi yang saya ingat tidak terlalu banyak bedanya data di tahun 1970-an dengan tahun 2000-an tentang jumlah waktu yang digunakan perempuan di AmerikaΒ untuk rumah tangga dibanding laki-laki. Perempuan masih berperan relatif sama sementara peran laki-laki meningkat sedikit sekali. Tiga dekade sudah berlalu, tetapi data tetap sama.
Artinya, perempuan memang masih menanggung beban yang lebih berat di urusan rumah tangga ketimbang lelaki.
Apakah itu salah? Tergantung ya. Apakah dua pasangan itu sudah sepakat atau belum. Apakah keduanya bahagia menjalani peran. Hal yang saya takutkan adalah, terinspirasi dari pengalaman juga tulisan Sheryl, perempuan jadi menahan diri, merasa bersalah ketika menjadi ambisius karena kehidupan domestiknya. Trust me, I have that feeling. Often. Tapi perlahan saya mendiskusikan dengan diri sendiri, dengan pasangan, juga dengan anak-anak. Anak-anak tetap prioritas penting kami dengan pembagian yang mudah-mudahan membuat kami bahagia.
Di salah satu chapter, Sheryl cerita bagaimana dia didekati teman-temannya yang bertanya, “apakah suami kamu baik-baik saja kamu lebih sukses dari dia?” Padahal suami dia juga adalah seorang direktur yang sukses dan bahagia. Saya sering sekali ditanya sama orang sekitar, “apakah suami terima saja dengan jadwal kerja dan bepergian kamu?” Saya sering bertanya pada suami dan jawabannya masih oke sampai saat ini. Anak-anak yang sering komplain. Karena komplain mereka maka saya akan sangat mempercepat jadwal travel dan menghindari pulang malam. And I am more than happy to do it.
Tapi saya merasa saya tidak boleh mengurangi ambisi saya hanya karena saya punya anak. Percaya deh, saya pernah mengalami menolak sebuah tawaran kerja karena takut tidak bisa membagi waktu. Dan saya menyesal mengambil keputusan itu karena saya belum mencoba. Saat ini, yang saya percaya adalah hidup berumah tangga harus selalu punya prioritas dan beberapa hal harus dikorbankan. Tetapi jangan ambil keputusan karena khawatir tidak bisa.
Saya berharap diskusi ini akan terus berlangsung sampai anak-anak saya besar nanti. Mungkin nanti relasi antara pasangan sudah mulai terbuka. Diskusi soal pembagian kerja sudah dimulai dari awal. Kalau mereka nanti mau menjalani hubungan serius, beberapa pertanyaan saya buat mereka adalah, “Apakah pasangan kamu punya sensitifitas gender?” Apakah pasangan kamu bisa menerima kamu sebagai perempuan utuh dengan semua kebutuhan, ambisi juga keinginan?”
I hope they will.
**Tulisan ini dibuat berdasarkan pengalaman hubungan heteroseksual dan juga punya anak. Laki-laki baru adalah sebuah gerakan yang dimotori diantaranya oleh @syaldisahude dan @aquinowh.
Walaupun saya agak kurang arif mengenai hal nie… tapi artikel nih memberi imput baru kepada saya.
.. terima kasih atas penulisan yg bermanfaat nie.
.. teruskan berkarya.. π
Halo!
Terimakasih sudah mau berkunjung ya. Mari kita ngobrol mengenai hal ini karena memang harus banyak ngobrol. Isu ini buat saya adalah apa yang saya hadapi setiap hari. π
c) Keluarga merupakan dunia keakraban seorang anak. Sebab dalam keluargalah dia mengalami pertama-tama mengalami hubungan dengan manusia dan memperoleh representasi dari dunia sekelilingnya. Pengalaman hubungan dengan keluarga semakin diperkuat dalam proses pertumbuhan sehingga melalui pengalaman makin mengakrabkan seorang anak dengan lingkungan keluarga. Keluarga menjadi dunia dalam batin anak dan keluarga bukan menjadi suatu realitas diluar seorang anak akan tetapi menjadi bagian kehidupan pribadinya sendiri. Anak akan menemukan arti dan fungsinya.
Sepakat. Dan untuk itulah maka tanggung jawab membesarkan anak tidak bisa hanya menjadi milik salah satu pihak dari para orang tua. Menjadi perempuan yang aktif dan bekerja dan ambisius bukan berarti menjadi sah untuk tidak memperhatikan anak. Hal yang sama juga terjadi pada laki-laki. Justru, pembagian kerja yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kesenangan ini bisa memberi anak lebih banyak ruang. This is of course, my own opinion.
aku juga baru selesai membaca buku ini Mbak, dan buku ini yg membuatku maju mengambil kesempatan tawaran kerja yang menghampiri pas baru usai sekolah master dari OU, tapi pada saat yg bersamaan aku masih punya balita 9 bulan. Sempat berniat back off bbrp tahun tadinya utk fokus di rumah membesarkan si kecil. Tapi buku ini meneguhkanku bahwa tak perlu seperti itu meski sudah berkeluarga dan punya balita. Will let you know when I write my own piece about the book. I have a lot to say coz just like you, this is what I have to deal every day with my new role, thanks for sharing this π
Good for you mbak. We better not stop our journey because we are mothers. What we need to do is to make priority of what we need to do and that is exactly what grown ups do. Senaaaang deh ada yang bisa sharing hal yang mirip-mirip. Nanti kalau sudah nulis, bilang yaaa…
pencerahan, hehe. Alhamdulillah suami adalah orang yang gak membagi pekerjaan berdasarkan gender juga mbak. Dan kita juga selalu komunikasi agar bisa menyenangkan semua pihak. π
Jujur saya juga punya ambisi dan suami sangat mendukung dengan semua yang saya lakukan.
Senang mendengarnya. π
saya suka tulisannya, mbak!!! saya sudah menjadi laki-laki baru itu. π sy bekerja sebagai jurnalis, tapi saya jg master chef bagi anak dan istri saya. saya juga baby sitter yang ahli π *mujidirisendiri
Yay! Keren mas. Jaman sekarang memang sudah banyak laki-laki baru yang keren macam mas Jafar. Kapan-kapan dimasakin yaaa….
Wih laki-laki idaman ini π