Bukan Dian Sastro
Beberapa minggu lalu, saya diminta bicara tentang Internet Governance Forum, bagaimana peran masyarakat sipil, multi-stakeholder dan bla bla bla terkait dengan isu itu. Karena isu ini termasuk dekat di hati, maka saya bicara dengan penuh semangat. Selesai pertemuan, bicara santai dengan teman-teman sambil membicarakan apa yang bisa dikerjakan dengan lebih baik. Sampai tiba-tiba…
“Mbak Shita keliatan gendut deh,” kata seorang teman laki-laki
“Nggak gendut semuanya, tetapi perutnya aja….,” ditimpali teman perempuan.
“Tapi putihan sih,” kembali kata teman laki-laki.
JRENG!
Setelah sejauh ini, apa yang penting saya bicarakan menjadi seperti meaningless karena hal yang terutama saya ingat adalah, respon dua teman itu dengan kegendutan kita, apalagi spesifik lokasinya. Well, Ada dua hal yang sangat sensitif di sebagian besar perempuan: umur dan berat badan.
Saya rasa benar sebuah survey yang pernah saya baca –sepertinya di Huffington Post– tentang 80% perempuan itu merasa tidak oke dengan tubuhnya. Tidak peduli seberapa keliatan percaya dirinya perempuan (atau saya, tepatnya), saat ada orang yang spot kelemahan itu rasanya jadi gimanaaaa gitu!
Pentingnya punya tubuh yang indah, memang konstruksi media yang jahat. Jahat sekali. Rasanya pengen membuang semua majalah perempuan penuh dengan photo-shop dan tubuh perempuan sungguh sempurna. Konstruksi media ini sudah merasuk ke semua nadi kita bahkan beberapa teman, termasuk mereka yang mengaku feminis, juga bisa mengomentari bentuk tubuh perempuan lainnya…
Iya, saya memang bukan Dian Sastro yang punya budget untuk segera menguruskan diri setelah melahirkan. Saya juga bukan Kate Middleton yang sebulan setelah melahirkan, karena dia sport freak, bisa segera masuk ke skinny jeans nya. Saya adalah perempuan biasa yang punya lemak di beberapa spot di tubuh.
Terus kenapa? Kalau lalu saya kadang dikira hamil, ya karena saya memang gendut di perut. Saya olah raga seminggu sekali untuk sehat bukan untuk menguruskan tubuh karena saya sibuk bekerja full time, berjibaku dengan kemacetan Jakarta, beranak dua yang super ceriwis dan punya waktu yang sungguh minimum untuk menikmati salon. Nggak punya budget juga untuk sedot lemak sana sini, apalagi operasi.
So what.
Sudah lama saya mencoba terapi bicara positif. Saya mencoba (seringkali kebablasan juga) untuk berkomentar hanya untuk memuji teman perempuan. Seperti, “kamu seger deh” atau “bajunya bagus” atau “kok cantik banget hari ini” ketimbang berkomentar “kok gendut” “kenapa jerawatan” dan beragam komentar negatif lainnya.
Paling tidak, saya berusaha untuk tidak membuat hari perempuan itu menjadi buruk hanya karena komentar buruk yang saya sampaikan ke dia. Saya pernah baca, seorang CEO sebuah perusahaan multinasional besar, seringkali merasa nggak pede atau kepikiran berhari-hari gara-gara ada yang bilang dia “gendut” atau “kok celananya nggak cocok?”
Yuk mari yuk. Kita (coba) nikmati hidup kita sebagai perempuan dengan semua lemak dan bentuk tubuh yang kita miliki. Karena memang tidak semua bisa seperti Dian Sastro.
Paling tidak, saya mencoba menikmati tubuh saya dengan segala lemak yang ada di saya. Saya juga mau anak-anak saya jadi anak yang percaya diri, yang percaya bahwa bentuk tubuh –walau memang penting– bukanlah satu-satunya indikator kebahagiaan dia sebagai perempuan di dunia ini. Ada banyak hal yang bisa dirayakan.
Jadi, kalau ada yang bilang saya gendut lagi, saya akan bilang … “Iya, karena saya bukan Dian Sastro…” sambil senyum dan berjalan bahagia… #end
again, it’s so wrong about stereotyping and labelling