Koran Tempo: Lembaga Penyiaran Komunitas

Ini tulisan sudah lamaaa banget; kebetulan nemu dan langsung saya kopi disini. Tulisan ini pernah dimuat di koran Tempo tahun 2002. Jadul juga. 🙂

Kala kita mendengar istilah “penyiaran komunitas”, maka penafsiran yang muncul di benak setiap orang mungkin akan berbeda. Ada sebagian orang yang berpikir bahwa penyiaran komunitas adalah penyiaran yang melayani orang dengan hobi atau kesukaan yang sama. Misalnya, radio Klasik. Sebagian lain mungkin akan berpikir, penyiaran yang melayani daerah kecil atau sangat terbatas.

Kedua pemikiran di atas memang benar, karena kata komunitas (berasal dari community broadcasting) lazimnya mengandung dua penafsiran. Dalam kamus The Oxford Dictionary & Thesaurus, community–saya hanya ambil yang dalam konteks penyiaran–adalah all the people living in specific locality, including inhabitants atau (terjemahan bebas) sekumpulan orang yang tinggal di daerah tertentu.

Penafsiran berikutnya adalah fellowship of interests etc; similarity atau terjemahan bebasnya, persamaan minat. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia karangan Zein Badudu, yang dimaksud komunitas adalah kesatuan yang terdiri atas individu-individu, masyarakat. Dalam kamus itu belum dijelaskan adanya kesatuan tersebut atas dasar apa.

Hadirnya penafsiran berbeda–yang sepertinya sepele ini–ternyata bisa menjadi salah satu alasan perbedaan pendapat antara pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Penyiaran (RUU Penyiaran). Pemerintah dan DPR yang direpresentasikan lewat panitia khusus saling mendebatkan perlu tidaknya penyiaran komunitas di Indonesia. Sebagai inisiator undang-undang, DPR bersikukuh mendukung adanya penyiaran komunitas di Indonesia. Sementara itu, pemerintah tidak setuju.

Bila ditilik, penjelasan penyiaran komunitas yang ada dalam RUU Penyiaran Pasal 18 sebenarnya kurang tegas. Penjelasan itu hanya mengatakan bahwa penyiaran komunitas adalah lembaga berbadan hukum yang bersifat tidak komersial dengan jangkauan wilayah terbatas untuk melayani kepentingan komunitas tertentu. Penyiaran komunitas didirikan atas biaya yang diperoleh dari kontribusi komunitas tertentu dan menjadi milik komunitas yang bersangkutan. Dalam pasal penjelasan, yang dimaksud dengan komunitas adalah komunitas akademis, agama, olahraga, adat, dan sebagainya.

Penjelasan RUU ini tidak menyinggung mekanisme sebuah penyiaran komunitas dapat berjalan dan sistem pengawasannya. Karena longgarnya definisi penyiaran komunitas di rancangan tersebut, banyak sekali lembaga penyiaran yang bukan penyiaran komunitas, tapi digolongkan sebagai penyiaran komunitas.

Syamsul Muarif, Menteri Komunikasi dan Informasi, di Kompas Cyber Media edisi 6 Juni 2002 sadar bahwa televisi maupun radio yang disebut komunitas, yang menjamur sekarang ini, tidaklah sepenuhnya dapat diklasifikasikan ke dalam TV dan radio komunitas sesuai dengan definisi yang ada dalam berbagai literatur. Mereka, menurut Muarif, tidak lebih dari lembaga-lembaga penyiaran yang belum memiliki izin siaran.

Dalam Undang-Undang Penyiaran Afrika Selatan, definisi penyiaran komunitas diatur dengan cukup tegas. Komunitas dalam pembuka UU itu adalah kesatuan individu yang tinggal di daerah tertentu atau kesatuan individu yang memiliki ketertarikan sama. Tidak hanya itu, Afrika Selatan juga menjabarkan konsep dasar penyiaran komunitas. Konsepnya adalah dikontrol oleh lembaga nonprofit, memiliki tujuan nonkomersial, dan melayani komunitas tertentu. Dalam batang tubuhnya, penyiaran komunitas diatur dengan lebih tegas lagi. Salah satu poinnya, manajemen penyiaran komunitas harus dikontrol oleh sebuah dewan yang dipilih secara demokratis oleh anggota komunitas yang berada dalam daerah geografis tertentu.

Definisi yang masih longgar dalam RUU ini memancing pemerintah untuk tidak memberi peluang eksisnya penyiaran komunitas dengan mengatakan, penyiaran komunitas hanya akan memicu disintegrasi dan konflik. Bila hanya melihat arti penyiaran komunitas yang tidak terintegrasi dengan penyelenggaraannya, kita bisa terjebak dengan pemikiran bila radio agama tertentu di Ambon bisa mengudara dengan bebas, radio tersebut pasti bisa memicu konflik.

Padahal, bukan begitu ceritanya. Banyak sekali cerita radio komunitas (baik dengan definisi geografis atau interest) yang justru meredam konflik. Contohnya, di daerah Subang, tepatnya di Desa Wantilan, terdapat sebuah radio komunitas bernama Abilawa yang bisa meredam konflik antarwarga (Kompas, 27 Mei 2002). Radio Abilawa yang memang dicintai oleh warganya selalu menjadi tempat diskusi antarwarga. Di radio Abilawa, mereka sering membahas kesenian daerah, penyuluhan pertanian, dan semua hal yang jarang terkait dengan isu politik. Karena seluruh siaran harus dilakukan di stasiun radio, semua pemuda atau warga yang sering ke sana menjadi malu bila harus tawuran. Alhasil, ketimbang tawuran, mereka lebih senang berkirim pesan dan lagu lewat radio.

Artinya, radio komunitas bisa memberi nilai sangat positif bagi masyarakatnya. Yang bisa kita lakukan, mumpung RUU ini masih dalam pembahasan, adalah memberi definisi yang tegas tentang penyiaran komunitas, baik dari sisi pelayanan, isi siaran, dana, komitmen penyiaran komunitas, dan pengawasan serta sanksi untuk penyiaran komunitas.

Misalnya, kita sebaiknya menjelaskan apa itu komunitas dalam konteks penyiaran. Kita bisa membatasi penyiaran komunitas dalam batas geografis, dengan catatan, selain sifatnya yang nonkomersial, penyiaran itu harus melayani seluas-luasnya kepentingan masyarakat seluruh komunitas alias tidak hanya melayani satu kelompok warga tertentu. Penyiaran komunitas juga harus mendapatkan legitimasi dari mayoritas warga daerah itu, dan suara mayoritas warga bisa tersalur lewat sebuah dewan yang mengontrol isi dan personel penyiaran komunitas.

Untuk menghindari peran sebagai “pemicu” konflik, penyiaran komunitas sebaiknya memiliki komitmen untuk tidak menyebarkan kebencian, fitnah, atau hal-hal yang menimbulkan atau memperburuk konflik dalam masyarakat. Penyiaran komunitas juga sebaiknya tidak berpihak hanya pada satu kelompok masyarakat atau satu kepentingan. Komitmen ini juga bisa ditambah dengan pentingnya perjuangan pluralisme, toleransi, nilai-nilai demokrasi, dan keterbukaan lewat radio komunitas.

Penyiaran komunitas juga harus diawasi oleh sebuah dewan yang bisa menetapkan sanksi bila masyarakat yang terlayani merasa terganggu atau keberatan atas isi siaran. Anggota dewan bahkan mungkin bisa memecat personelnya.

Intinya, kita bisa mengeliminasi kemungkinan radio komunitas menjadi pemicu konflik atau disintegrasi melalui definisi yang tegas. Melihat pentingnya peran penyiaran komunitas dalam kehidupan berdemokrasi kita, maka sebaiknya kita menemukan definisi dan peraturan yang pas bagi Indonesia.

  • December 6, 2009