Belajar bersama Anak-anak, Pendidikan Seksualitas

Sebagai Ibu dua orang anak perempuan, saya terus terang khawatir dengan banyak hal. Saya memang sering khawatir –khawatir adalah bagian dari hidup saya– dan satu hal yang saya paling khawatir adalah soal bagaimana anak-anak saya memaknai tubuh mereka.
Bagaimana tidak khawatir membaca fenomena hamil muda (kemudian pernikahan muda), menjual keperawanan diganti pulsa telepon dan perkosaan yang kerap terjadi? Belum lagi soal konsep diri perempuan yang perlu kurus, operasi plastik, dan tekanan peer group. Sereeeem! Karena sering membagi rasa khawatir ini, suami saya bilang, “They can handle it. Do not worry too much”.
Tapi tetep dong ya, namanya juga Bunda khawatir. Tapi gimana cara membuat kekhawatiran ini menjadi sesuatu yang berguna?
Sebagai orang tua, tentu kita sering bertanya soal bagaimana membekali anak-anak melihat kondisi hidup yang begitu beragam? Tentu saja ada soal nilai (values yang kami ingin tanamkan) juga soal kepercayaan terhadap agama. Tetapi, menurut saya, melihat fenomena yang saya sebutkan di atas, ada satu hal yang tidak kalah penting untuk dikenalkan anak-anak sejak awal yaitu … Pendidikan Seksualitas!
Saya tidak akan membahas soal etimologi seksualitas –biarlah itu menjadi tugas mereka yang lebih jago. Tetapi saya ingin mulai mencoba memperkenalkan organ seksual mereka dan menceritakan lebih detail apa yang harus mereka lakukan.
Saat mereka sudah bisa berbicara, saya memperkenalkan organ tubuh mereka tanpa basa-basi. Ini vagina, ini bentuk penis (dari gambar), dan ini adalah payudara. Saya juga berpesan pada mereka untuk menjaga diri, seperti, “Jangan mau membuka celana dan baju bila bukan dengan Bunda, Ayah, mbak atau Bu Guru di sekolah”. Plus, “Juga, kalau mau membuka harus ada alasan, misalnya mau pipis atau mau pup”.
Saya juga memperkenalkan soal pentingnya menjaga kebersihan vagina. Pastikan kering di wilayah vagina, ganti celana dalam bila sudah kotor. Jangan salah! Lebih dari 50% perempuan Indonesia itu mengalami vagina yang berjamur. Karena tingkat kelembapan yang tinggi, maka fakta itu bukanlah untuk menjadi penghinaan, tetapi menjadi indikator penting bagi kita untuk menjaga kering dan bersih vagina.
Saat liburan tahun baru ini, saya juga mulai bercerita soal “Darimana Kamu Berasal” dari buku Seri Pendidikan Seksualitas dan Reproduksi nya PKBI. Saya upload di blog ini ya (padahal bukan Creative Commons, tapi ya apa sih ruginya ya kalau dibagi? :D)
Selesai membaca buku ini, anak saya yang besar (7 tahun bertanya), “Bagaimana caranya agar sperma Ayah bertemu sel telur Bunda?”. Jawabannya? “Hmmm… nanti bisa dilakukan setelah menikah”. Masih belum terlalu detail karena masih bingung dan dia belum bertanya lanjutan.
Hmmm…
Perjalanan pendidikan seksualitas ini adalah sesuatu yang juga saya belajar bersama mereka. Gara-gara Ibu saya terkena kanker serviks, saya jadi tahu bahwa anak-anak baiknya harus divaksin umur 12 tahun. karena penyebab kanker serviks bisa dimulai di usia semuda itu.
Gara-gara saya berteman dengan orang-orang yang jagoan di isu ini, saya tahu bahwa minimum umur untuk hubungan seksual pada perempuan adalah diatas 20 tahun. Atau amannya, 21 tahun sesuai dengan UU Pernikahan di Indonesia. Karena di umur segitu, organ reproduksinya sudah matang. Sebelum itu, akan berpengaruh pada kesehatan mereka. Bayangkan saja, organ belum matang, masih kuncup harus menerima kedatangan organ lain plus rangsangannya.
Tapi anak-anak saya belum remaja. Mereka masih kecil dan masih relatif mudah menerima saran dan pengetahuan dari orangtua. Saya rasa, bila sudah remaja nanti, tantangannya akan jauh berbeda (dan tentu lebih sulit).
Satu hal yang ingin saya tanamkan ke mereka. Mereka perlu menjaga harga diri mereka, juga seksualitas mereka tanpa juga menghilangkan the pleasure on it. Seksualitas bukanlah sesuatu yang tabu dan serba tidak boleh. There is a pleasure component on it and they should know it. I just hope they know it just on time. In a really suitable time and with the person whom they love and love them back.
Eh! ini baru seri postingan pertama. Nanti saya akan sambung lagi bila muncul tantangan baru!
Download:
Darimana Aku Berasal — tentang asal muasal adek bayi
Aku Laki-laki dan Perempuan — tentang perbedaan anak laki dan perempuan
Pahlawan Kecil — tentang kenapa organ vital di tubuh kita tidak boleh sembarangan digunakan
Panduan untuk pendidikan pencegahan. Orang tua umumnya berpendapat bahwa pendidikan seks di sekolah akan menyebabkan peningkatan aktivitas hubungan seks di kalangan anak muda. Namun riset yang dilakukan di seluruh dunia menunjukkan bahwa pendapat itu tidak benar. Kenyataannya dari kajian di 113 negara di 5 benua ditemukan bahwa pendidikan tentang HIV, AIDS dan seksualitas justru membantu mengurangi tingkat aktivitas hubungan seks dini dan perilaku berisiko tinggi lainnya. _ Lakukan pendidikan sedini mungkin sebelum anak-anak memasuki masa pubertas atau masa seksual aktif. _ Informasikan seluruh faktor yang berkontribusi pada kerentanan terhadap HIV, termasuk masalah ketidaksetaraan gender, kemiskinan, diskriminasi, norma kebudayaan dan kepercayaan, penyalahgunaan narkoba dan kelompok minoritas. _ Jelaskan dengan benar perbedaan tingkat risiko dari hubungan seks secara anal, vaginal dan seks oral. _ Berikan informasi selengkapnya tentang pilihan pencegahan HIV, termasuk penundaan hubungan seks, setia kepada pasangan, dan penggunaan kondom yang benar dan konsisten. _ Kembangkan keterampilan saat mengajarkan topik-topik yang sensitif sehingga tidak menimbulkan rasa malu di depan kelas. _ Lengkapi tenaga kependidikan dengan keterampilan agar mampu mendengarkan dan menangani masalah-masalah siswa yang sensitif dengan sikap yang tidak menghakimi. _ Gunakan berbagai cara-cara informal, seperti lewat media dan jejaring masyarakat untuk memperkuat pesan-pesan pendidikan pencegahan berbasis sekolah. _ Integritasikan pendidikan HIV dan AIDS ke dalam kegiatan kurikuler dan ekstra kurikuler seperti olah raga dan perkemahan sekolah. _ Libatkan secara aktif guru dan anak muda dalam merancang dan mensosialisasikan kurikulum.
Sepakat banget. Boleh tahu darimana bisa download hasil kajian 113 negara itu? Terimakasih!
Keren banget tulisannya, natural untuk hobynya ttg sepatu… sukses mbak, bagaimana cara bagi waktu untuk hobby, kerja, keluarga, dan pijit. share yah Bu Shita untuk rekomendasi tukang pijitnya. #kepo
Hai mbak Anita,
Waduuuh kalau pijet mah sama salon. 🙂
Terimakasih yaaa… Sampai ketemu lagi.
SL
Mbak, kalo ada acara discus yg mbak jd narasumber email saya yah. thanks you
terimakasih mbak. ada banyak yang sudah ahli di isu ini kok. saya hanya mencoba melakukannya di rumah.