Ulasan buku: Feni Rose dan Orde Media

Feni Rose dan SILET

Feni Rose dan SILET

Baca buku kalau mau terdidik. Masak nonton TV?” kicauan Feni Rose, presenter infotainment tanggal 17 Desember 2013. Kicauan ini menanggapi pernyataan Jokowi tentang banyaknya tayangan televisi yang tak mendidik anak-anak.**

Feni Rose mungkin tidak percaya pada kekuatan televisi. Betapa menakjubkannya pengaruh televisi yang bisa menjadi alat propaganda, medium yang membawa kepercayaan baru tentang sesuatu yang benar dan yang salah. Ketika kerut wajah gara-gara senyum awalnya adalah bukan masalah, tapi malah buat tambah manis, sampai kemudian iklan Ponds mengatakan bahwa senyum yang berdampak kerutan adalah bermasalah. Jadi pilihannya, kalau tetap mau senyum dan jauh dari kerutan, harus pakai Ponds.

Ponds tentu tidak sudi membayar agensi iklan secara mahal kalau iklannya tidak bisa mempengaruhi pilihan publik. Ya kan. Jadi saya percaya kekuatan televisi seperti Ponds mempercayai pemasangan iklan yang paling strategis adalah di televisi.

Cover buku Orde Media, Kajian Televisi dan Media di Indonesia Pasca Orde-Baru

Cover buku Orde Media, Kajian Televisi dan Media di Indonesia Pasca Orde Baru

Saya percaya kekuatan pengaruh televisi, terutama untuk mereka yang tidak memiliki pilihan lain dalam menghabiskan waktu (senggangnya). Oleh karena itu, membaca buku Orde Media ini menjadi penting karena mampu memberikan banyak dimensi yang relatif baru atau segar tentang bagaimana pemaknaan yang dalam terkait produk televisi, yang sebelumnya tidak saya pikirkan.

Buku ini terbagi menjadi empat bagian besar. Bagian pertama adalah jurnalisme lalu dilanjut teks. Dua bagian awal ini membahas banyak sekali tema suguhan jurnalisme dan hiburan di televisi. Beberapa tulisan sangat keras mengkritik suguhan televisi dan beberapa diantaranya juga sudah banyak dibahas –diantaranya soal kepemilikan media dan tentu saja pengaruh Hari Tanoe di MNC. Tetapi ada juga beberapa tulisan yang menarik misalnya kajian mengenai rumah-rumah properti sinetron.

Robin Hartanto menjelaskan dengan menarik soal betapa hampanya komposisi ruang tamu di sinetron Tukang Bubur Naik Haji. Menurut Robin, tidak ada kesempatan bagi ruang ruang dan benda-benda untuk bersuara, ataupun berinteraksi dengan para penghuni. Tidak ada juga kesan bahwa ruangan itu memiliki makna dalam keseharian para pemain. Terlihat ada detachment dengan property dan terlalu fokus pada ekspose wajah orang.

Cerdas menurut saya. Dan kajian Robin ini bisa juga dipraktekkan dengan tidak perlu membuat budget produksi meningkat. Hanya tambah waktu untuk riset, paling tidak sinetron yang ada saat ini tidak terlalu sampah dan ada sedikit tambahan makna.  Tentu saja kalau pelaku industrinya mau.

Sudut yang menarik lain menurut saya adalah bagaimana Kick Andy dimaknai oleh Windu W. Jusuf. Kick Andy yang –jarang saya tonton, jadi memang tidak bisa menilai secara jernih—dikatakan punya beberapa resep yang kira-kira sama di setiap episode, yaitu narasi motivasional. Di sebuah episode tentang pewirausaha muda, Windi mengatakan bahwa resep penting yang diajarkan adalah: kendati terlahir miskin, Anda tetap berkesempatan untuk kaya asalkan rajin bekerja. Anda malas, Anda miskin. Anda bekerja keras dan jujur, Anda kaya.

Hahaha.

Menelusuri bagian konteks dan khalayak, bacaan menjadi makin menarik karena bahasannya lebih melihat secara kontekstual dan posisi khalayak yang sangat jarang disentuh selain sebagai konsumen. Misalnya, ada bahasan soal literasi media yang sesungguhnya bukan hanya bertujuan untuk bersikap kritis terhadap media, tetapi memandang media sebagai bagian pembelajaran. Sudut pandang yang menarik dan patut ditelusuri lebih lanjut.

Sayangnya dua bagian ini tidak terlalu banyak tulisan. Mungkin menunjukkan juga bahwa studi atau kajian mengenai konteks dan khalayak media belum banyak dikerjakan. Remotivi menyajikan juga hasil risetnya terkait hak publik atas televisi yang menurut saya bisa menjadi data awal menarik. Juga bisa membantu kita meyakinkan mbak Feni Rose bahwa 76% dari total responden sebanyak 220 mahasiwa di Jakarta mengatakan bahwa ada kepentingan masyarakat di tayangan TV. Angka besar itu menunjukkan pentingnya tayangan buat publik.

Beragam tulisan di buku ini sungguh menarik kendati mungkin menyakitkan untuk para pekerja televisi. Tulisan-tulisan yang disuguhkan memang mencoba untuk melihat beberapa tayangan televisi yang terkenal juga beberapa pola di penayangannya. Tidak terlalu dalam karena yang ditampilkan adalah tulisan tulisan pendek.

Benar juga kata Roy Thaniago di kata pengantarnya. Tema yang disorot sangat beragam, dimulai dari jurnalisme, interior rumah, representasi gender dan etnis, serikat pekerja sampai etika di khalayak. Sedemikian beragamnya, hingga kata Roy, maka upaya merangkum buku bisa dipastikan akan mengalami kegagalan.

Buku ini menurut saya sungguh patut dibaca oleh terutama para orang tua yang punya anak-anak yang kiranya masih bisa dikontrol waktu menonton TV nya. Patut juga dibaca oleh mahasiswa komunikasi dan mereka yang peduli pada pemaknaan soal televisi di Indonesia. Saya tidak yakin para produser dan pelaku industri televisi mau membaca ini, walaupun akan sangat bagus dan berjiwa besar bila para pelaku industri televisi bisa membaca kritik yang lebih terstruktur ketimbang omelan-omelan biasa.

Yang ingin saya yakinkan untuk membaca ini tentu saja mbak Feni Rose. Tapi saya tidak yakin beliau mau. 😀

**Potongan alinea di halaman 212.

 

  • January 7, 2016