Tingkatan Motherhood
Prolog: Tulisan ini pernah saya upload di Ngerumpi.com, beberapa tahun yang lalu. Saya merasa perlu menuliskan disini untuk meninggalkan track ke anak saya nanti. Saat ini kondisi my motherhood sudah agak beda. I am still working full time, so does my husband. And I can still live up to what I want and no longer questioning my motherhood because after long reflection, what I face is actually what all parents in the world face, specifically those with small children. Because my husband felt this too … This is not about motherhood, but about parenthood and our responsibilities as parents.
—
Ketika melahirkan anak pertama, saya punya satu keinginan kuat. Pindah kerja ke tempat yang lebih dekat rumah supaya bisa menghabiskan waktu dengan anak. Kalau saya bisa masuk dari jam tujuh sampai jam empat lalu sampai rumah jam lima sore, maka saya punya waktu kurang lebih satu setengah jam untuk main sama anak. Lumayan. Belum lagi malam dia tidur dengan saya dan weekend sudah pasti kami habiskan bersama.
Saat itu hidup rasanya padat sekali. Pulang harus tepat waktu. Saya sering menolak undangan malam atau pertemuan diluar jam kerja kecuali sangat amat urgent. Pekerjaan saya yang mengharuskan saya traveling juga membuat sayamerasa berdosa. Rasanya kalau sudah di Jakarta, tidak ada yang lain selain
anak dan keluarga.
Kemudian hamil anak kedua. Excited tentu saja karena saya dan suami sudah merencanakannya. Tetapi saya sudah lebih santai.
Hanya ada satu yang sangat beda. Tingkatan motherhood saya! Kalau anak pertama, rasanya seluruh dunia diberikan untuknya. Anak kedua ini, tentu saja saya sayangi sepenuh hati dengan besaran yang sama, tetapi saya merasa perlu untuk menyisakan lebih banyak waktu dan tenaga untuk diri saya sendiri.
Selama tiga tahun mengarungi ‘golden years’ anak pertama saya punya banyak mimpi yang saya kesampingkan. Bukannya saya tidak mencintai pekerjaan saya, tapi saya ingin banyak hal yang lain. Saat ini, mimpi dan obsesi itu rasanya menyesakkan dada karena membara dan membuat bingung kepalang.
Bingung membagi waktu yang hanya 24 jam dan tujuh hari seminggu. Ada dua anak manis yang harus saya perhatikan dan to be fair anak kedua harus juga mendapat kesempatan yang sama seperti kakaknya. Di lain pihak, ada juga sejuta obsesi yang ingin saya wujudkan yang rasanya hanya maksimal dilakukan kalau ada tambahan waktu.
Dada saya lebih terbakar saat salah seorang kolega mengatakan dia melihat banyak potensi saya yang terpendam. “Kok sepertinya dia tahu apa yang sedang berkecamuk di hati ini?” pikir saya.
Gara-gara itu, saya semalaman tidak bisa tidur. Bagaimana caranya agar saya bisa menyeimbangkan semua ini? Bagaimana caranya agar obsesi yang tadinya hanya menjadi tulisan di papan mimpi yang tertempel di lemari bisa terwujud?
Besoknya saya ngobrol dengan seorang ibu yang sudah lebih dari 25 tahun menikah.
Dia bilang, tentu saja tidak mungkin saya bisa mencapai semuanya. Karena saya sudah punya dua orang anak yang memang dinanti. Artinya, I have made my choice. Saya bukan lagi seorang perempuan single yang bebas mengerjakan apapun, dimanapun dengan konsekuensi apapun. Dia bilang akan ada waktunya saya bisa mengejar mimpi. Dengan dua anak dibawah empat tahun akan tidak masuk akal bila saya bisa mengerjakan semuanya dengan sempurna.
Dia bilang, akan ada reward yang luar biasa nantinya. Kalau anak-anak sudah mendapat didikan yang maksimal, maka jalan hidup saya akan lebih menyenangkan nantinya.
Pikir-pikir, benar juga. Saya mau simpan dulu baik-baik bara di dada saya ini. Saya akan keluarkan sedikit-sedikit bila ada waktu. Tetapi saat ini ada prioritas yang lebih penting yang mungkin tidak akan kembali …
*Shita Laksmi, Bunda dua anak tinggal di Rempoa.