Jangan Mengkriminalisasi Perempuan Korban!
Pernyataan Jaringan Perempuan Indonesia
20 Juli 2010
Jangan Mengkriminalisasi Perempuan Korban!
Sejak sebulan terakhir ini berita-berita di media dipenuhi dengan kasus video koleksi pribadi yang diduga melibatkan artis ternama. Kasus tersebut mendapatkan perhatian luas tidak hanya oleh masyarakat Indonesia tetapi oleh pihak-pihak yang mewakilkan tokoh agama dan para elit politik yang justru makin menyudutkan perempuan yang menjadi korban didalam video koleksi pribadi tersebut.
Pemberitaan media yang terus menerus dan cenderung menghakimi sebelum ada putusan pengadilan dalam kasus ini telah menimbulkan pro dan kontra yang sangat tajam, sehingga menggiring sikap dan perhatian masyarakat terhadap para pihak yang diduga ada didalam video koleksi pribadi tersebut.
Kami dari Jaringan Perempuan Indonesia menolak penyebaran materi-materi pornografi tanpa adanya kontrol yang ketat dan kriminalisasi perempuan korban video seks, sebelum ada putusan hukum dari pengadilan. Sasaran pokok dari UU Pornografi adalah industri pornografi maka sebenarnya UU Pornografi tidak mengatur dokumentasi pribadi yang menjadi ranah privat.
Tubuh, pikiran dan seksualitas perempuan yang dikriminalkan adalah cermin betapa hukum negara tidaklah melindungi perempuan. Dalam proses hukum yang sedang berjalan, pemberitaan media yang tidak netral dan hipokrit makin memperlihatkan bahwa kejahatan diukur dari integritas tubuh perempuan sebagai pelanggaran norma-norma kesusilaan dalam masyarakat. Kekerasan terhadap perempuan hanya direduksi pada masalah kesusilaan.
Kekhawatiran kami dari Jaringan Perempuan Indonesia bahwa UU Pornografi hanya berpotensi mengkriminalisasikan perempuan yang rentan menjadi korban pornografi telah terbukti bahwa wacana yang terus menerus diusung di media massa adalah hasil intepretasi dari pornografi yang makin memojokkan perempuan.
Untuk itu kami bersikap bahwa ;
• Sudah saatnya pemerintah mengambil tindakan atas instrumen-instrumen hukum yang masih bermasalah, seperti UU ITE, UU Pornografi yang berdampak pada kriminalisasi tubuh perempuan
• Memberikan informasi yang adil kepada media massa bahwa ada UU yang melindungi perempuan seperti UU No.7 tahun 1984 yang meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan.
• Bahwa ada prinsip azas praduga tak bersalah serta kode etik Polri dalam menangani kasus tersebut.
• Mengingatkan kembali kepada media massa mengenai kode etik jurnalistik yang banyak dilanggar sejak pemberitaan kasus video tersebut.
Pernyataan ini adalah bentuk keprihatinan kami akan simpang siur dan rancunya opini yang berkembang didalam masyarakat mengenai diberlakukannya UU Pornografi.
Pemberitaan yang tidak proposional pada perempuan korban pornografi yang memicu penghakiman oleh masyarakat bisa mengakibatkan mereka mengalami trauma psikologis.
Sudah saatnya media mulai arif dalam memberitakan isu ini dalam koridor yang adil dan tidak diskriminatif. Bukankah hukum seharusnya melindungi seluruh warga negaranya? Termasuk laki-laki dan perempuan .
Jaringan Perempuan Indonesia
Institusi
Yayasan Jurnal Perempuan-Perempuan Mahardika-Our Voice- Institut Ungu-SDI…
Individu
Dewi Nova Wahyuni-Siska Dewi Noya-Tunggal Pawestri-Titiana Adinda-Firliana Purwanti-Shita Laksmi-Maesy Angelina-Lely Zailani-Suma Mihardja-Danu Primanto-…
contact person:
Mariana Amirudin – 08174914315
Chika Noya – 0818400045
Olin – 081519002185
kalau aja ada jaringan pria indonesia, muungkin mereka juga akan mengeluarkan statemen yang senada. hehehehe.
intinya sih, informasi tentang berita-berita artis itu emang menurut gw udah diluar batas dan gak pantas lagi disebut jurnalistik. dan menurut gw ini lepas dari urusan wanita atau pria. tapi emang kode etik jurnalistiknya yang dilanggar.
Dan mereka itu juga bukan Jurnalis! Karena kerjanya tidak ada kaitannya dengan kepentingan publik.
Sebagian besar dari mereka mencari keuntungan dari konflik orang lain.
Mereka adalah pekerja infotainment. Tidak ada yang salah dengan hal itu dan harus dijaga juga dengan kebebasan berekspresi, tetapi saat mereka menggunakan frekuensi terbatas, mereka harus menghormati penontonnya.
Dan ada aturan yang menjaganya.
yah aku setuju bgt tuh,..