Internet dan Gerakan Melawan Korupsi

Oleh Shita Laksmi

(tulisan ini akan berkembang, karena ada bacaan baru yang lebih mencerahkan).

Selasa, 3 November 209, undangan “Jalan Sehat Singkirkan Korupsi” tersebar di facebook. Dalam waktu tidak lebih dari lima hari, sudah lebih dari 800 orang yang konfirmasi untuk hadir ke acara itu.

Sabtu, 7 November 2009 di sebuah mailing list yang membahas kebebasan informasi publik kembali diingatkan untuk datang ke acara “Indonesia Sehat Tanpa Korupsi” yang katanya akan dihadiri satu juta facebookers. Tidak peduli bahwa judulnya berbeda, tetapi pesannya jelas: bahwa pada hari Minggu 8 November adalah saatnya kita berkumpul secara fisik acara untuk melawan korupsi.

Facebook, sebuah jejaring sosial yang bermisi, “giving people the power to share in order to make the world more open and connected place” (terjemahan bebas: memberi kekuasaan bagi individu untuk berbagi untuk menjadikan dunia lebih terbuka dan tersambung), menjadi alat mobilisasi yang strategis. Situs jejaring sosial lain, seperti Twitter, juga berperan yang sama. Tidak heran karena pengguna Twitter di Indonesia termasuk lima pengguna terbesar diseluruh dunia, bersama dengan Inggris, Brazil, Spanyol dan Amerika Serikat (BlogTempo).

Kekuatan situs-situs jejaring sosial dan internet melawan korupsi tidak bisa lagi dibendung. Melihat ramainya forum diskusi, mailing list bahkan status pribadi di facebook terlihat jelas bahwa warga Indonesia yang punya akses internet, yang nuraninya masih ingin menegakkan keadilan, secara maksimal mempergunakan internet untuk mengeluarkan pendapat.

Saat ini di facebook, misalnya, sudah banyak sekali grup –kelompok yang dibentuk pengguna facebook – yang menyuarakan anti korupsi. Dalam catatan yang bisa saya rangkum, ada lebih dari sepuluh grup yang menyuarakan pendapat terkait dengan kasus KPK. Situs http://www.cicak.or.id juga terbentuk oleh gerakan masyarakat sipil. Situs dikelola oleh Yayasan Solidaritas Pelangi Cinta Indonesia dan diharapkan menjadi wadah diskusi dan pertukaran informasi yang digerakkan secara swadaya, dengan tujuan terwujudnya Indonesia yang terbebas dari korupsi.

Kalau diperhatikan, gerakan ini menyesuaikan dengan perkembangan fakta kasus KPK. Terimakasih atas disahkannya UU Kebebasan Informasi Publik maka semua kejadian penting yang biasanya tidak bisa diakses menjadi terbuka. Rakyat tidak lagi menjadi penonton pasif tapi ikut berpendapat, ikut berkomentar dan bahkan bisa ikut caci maki. Misalnya, sesaat setelah warga Indonesia kecewa terhadap rapat dengar pendapat di Komisi III DPR, tidak lama kemudian sudah ada undangan “Gerakan Sejuta Facebookers Kecam Komisi III DPR RI yang Mendukung gerakan Buaya”. Atau respon kepada Evan Brimob yang status di facebook sangat provokatif sehingga dalam waktu tidak lebih dari tiga hari sudah dibanjiri dengan jutaan kecaman. Tidak hanya melalui facebook, tapi juga ke situs www.polri.go.id.

Ada satu hal yang penting yang menggarisbawahi fenomena ini. Pemahaman dan pengetahuan rakyat atas kasus KPK ini berkembang dan menjadi lebih sistematik. Grup-grup di facebook berkembang dari sekedar tidak setuju atau caci maki kepada Evan Brimob berkembang menjadi grup yang memberi saran, seperti “Gerakan 1.000.000 Facebookers Untuk Tempatkan Polri dibawah Depdagri”.

Chuan Yan Hsu, melalui allacademic.com di tahun 2003 pernah membandingkan gerakan tradisional dan gerakan virtual di Taiwan. Dia melakukan riset mengenai perlawanan warga Taiwan, terutama wartawan dan akademisi, yang tidak setuju dengan kebijakan penyiaran negara Taiwan yang monopolistik. Menurut dia, salah satu perbedaan mendasar dari dua gerakan itu adalah metode pengorganisasian. Di gerakan tradisional, pengorganisasian lebih tersentralistik dan menekankan pada penciptaan identitas. Sementara di gerakan virtual, informasi adalah ajang pengorganisasian. Di gerakan virtual lebih penting menjadikan pendukung itu sebagai konstituen yang aktif memberikan pendapat, sehingga gerakan ini perlu menciptakan unit yang mempunyai kapasitas untuk menyebarkan informasi kepada konsituen ketimbang memaksa pendukung patuh pada satu identitas. Identitas satu tidak lagi menjadi penting dan oleh karena itu semua orang berhak untuk masuk ke gerakan virtual apapun.

Melihat perkembangan yang sangat pesat ini sepertinya gerakan lawan korupsi bisa lebih efektif dilakukan melalui internet, melalui situs-situs jejaring sosial dan bukan di ruang-ruang komisi Dewan Perwakilan Rakyat. (end)

  • November 15, 2009