IGF 2013, The Point of No Return
Kalau ada satu keputusan yang selalu saya pertanyakan benar atau tidak, maka menjadi bagian dari stakeholders yang mempersiapkan IGF 2013 adalah contohnya. Jadi-tidak-jadi-tidak acara ini karena persoalan dana dan perjanjian antara PBB dengan Indonesia yang baru selesai beberapa minggu sebelum acara dimulai membuat acara ini seperti berada di floating point. Tidak pernah jelas dan sungguh-sungguh melelahkan lahir dan batin.
Sudah beberapa draft email pengunduran diri saya dari komite persiapan IGF 2013 yang siap dikirim, tetapi tertunda karena ntah kenapa…
Dan sekarang, setelah perhelatan akbar itu selesai, saya tahu kenapa.
Adalah sebuah kehormatan bisa bekerja dengan orang-orang dari sektor bisnis, komunitas teknis, pemerintah dan civil society, yang sudah lepas ego nya. Kerja keras, passion dan mungkin juga cinta negara (alias takut malu kalau acaranya gagal) membuat sebagian besar anggota komite IGF bisa melepas ego individu dan kelompoknya dan berpikir for the greater good. Ketika konflik melanda di antara kita, tentu saja perlu waktu untuk menyelesaikannya sambil mungkin ada mimpi buruk di tengahnya, tetapi relatif bisa damai karena untuk Indonesia.
Sok nasionalis? Terserah.
Berprinsip menjalani prinsip multistakeholder dari awal hingga akhir itu juga sungguh penuh tantangan. Karena berasal dari beragam latar belakang, maka bicara pun kadang satu arah karena tidak ada yang mendengar. Karena kita dipaksa untuk terus bekerjasama, dari komunikasi satu arah itu pun menjadi dialog yang matang dan bisa mencari solusi.
Ketika hari semakin dekat menuju 22 Oktober dan masih banyak ketidak jelasan dalam proses pelaksanaan, saya rasanya ingin pingsan saja. Dalam dua rapat hampir terakhir di Jakarta, saya sudah menjadi super galak dan sungguh tidak tenang. Sudah terpikir untuk beli one way ticket ke Timbuktu kalau-kalau acara ini tidak berhasil. Beberapa diantara kami bahkan berpikir, “acara ini berjalan normal saja, sudah bersyukur. Tidak perlu lah menjadi luar biasa.”
Lucunya, saat semua ketidak jelasan itu memuncak, tetapi ada satu rasa yang sangat pasti dirasakan bersama yaitu, sudah tidak mungkin untuk mundur karena it was the point of no return.
Persiapan IGF 2013 ini membuktikan, sekali lagi, kalimat beken Charles Montague –yang saya juga nggak tahu siapa, tapi saya senang dengan kalimatnya– bahwa …”it is amazing what you can accomplish if you don’t care who gets the credit.”
See you around.
Lihat:
Ini adalah video dari Indonesia Internet Governance Forum yang terkait dengan pencairan dukungan dana dari multi-stakeholder. Bila boleh klaim, maka dana yang berasal dari multi-stakeholder ini adalah pertama kali di dunia untuk Internet Governance Forum.
Setiap yg terlibat telah menjejakkan sejarahnya sendiri. Berdamai dengan kekesalan menjadi poin penting yg boleh jadi dialami oleh semua yg terjerat upaya “membayar malu” negara.
Dari kalangan marjinal pun mengalami hal yang kurang lebih, sama dengan yg terjadi di komite. Tetapi semuanya harus berakhir dengan berdamai. Terutama mendamaikan diri sendiri. Menghibur kegelisahan dengan cara yg naif sekalipun, menjadi lumrah.
Kini cerita itu telah usai. Kita kembali menjadi diri kita yg semula. IGF 2013, sebuah perjuangan antara menanggung malu dan menahan marah. Itu saja kurasa.
peace!
kenapa menyebut diri “marjinal”?
IGF 2013 itu bukan sekedar project sementara buat ku. itu lebih kepada life lessons.
Pengusung terlaksananya IGF berlapis-lapis, mulai dari lingkaran inti hingga yg di lapis paling luar, paling sisi yg mengurusi beragam printilan. Posisi marjinal adalah pilihan sadar berdasarkan kapabilitas. Bukan posisi karena merasa tersisih. Sebab sejak awal persiapan, harus ada mereka yg bergerak di lapisan luar. Mereka ini nggak merasa perlu dikenal. Justru kalau dikenal -kayaknya- malah nggak bisa bekerja dg baik.
Itu kenyataan yg kugeluti selama di Bali, bersama mereka yg sibuk urus mobil sewaan, mengumpulkan bon/nota, cari printilan, mondar-mandir nyetir, motret sana-sini, wawancara, bahkan sekadar ngopi & ngerokok bareng polisi yg menjaga main gate, melumerkan kekakuan mereka thd keamanan lokasi, agar bisa masuk gedung buat masang backdrop booth dini hari.
Yg kubangga, mereka bekerja dalam damai. Bekerja dg kebanggaan yg selalu terawat demi Indonesia.
Soal IGF 2013, memang kita mendapatkan pelajaran bersama dg perspektif yg berbeda-beda. Buatku sendiri, cukuplah membantu para pelancong dari Pendikte Bangsa-Bangsa. 🙂