Parenting: Dilema Travelling Mom

(dimuat di majalah Parenting,  edisi Agustus 2010)

Saat ini sebenarnya saya sedang menjalani sebagian mimpi masa kecil saya. Waktu kecil saya sering iri melihat beberapa teman yang biasa liburan ke luar negeri dengan keluarganya. Saya selalu ingin bisa pergi ke luar negeri tetapi tidak bisa karena keluarga saya tidak mampu untuk menyisihkan dana liburan. Boro-boro ke luar negeri, wisata dalam negeri juga jarang sekali. Kalau melihat pernak-pernik yang dibawa teman-teman saya pulang, saya membayangkan tempat yang mereka kunjungi termasuk cuaca dan budaya yang mereka temui. Di saat itulah saya berjanji dalam hati akan bekerja di tempat yang memungkinkan saya untuk bepergian.

Keinginan itu tercapai.

Saat ini saya bekerja di organisasi yang memungkinkan saya bepergian ke tempat-tempat yang awalnya hanya ada di mimpi. Saya sadar bahwa ada banyak orang yang jauh lebih mobile dari saya tetapi kesempatan bisa menginjakkan kaki di benua lain di dunia ini sangat saya apresiasi. Walaupun pemandangan saya cukup yang terbatas karena sebagian besar waktu dihabiskan di bandara atau hotel atau ruang rapat.

Walaupun rasa nikmat itu tidak penuh karena saya harus meninggalkan dua bidadari kecil saya di rumah. Anak pertama saya umur 4 tahun sementara si bungsu umur 1 tahun. Tangisan terkencang biasanya datang dari si sulung.

Ya, saya memang selalu merasa bersalah ketika pergi. Kendati saya juga sangat tertarik mengunjungi sebuah negara atau kota yang baru, tetapi gambaran anak-anak yang menangis dan mencengkeram kaki selalu terbayang. Kendati sudah berulang kali saya katakan bahwa kepergian saya bukan untuk senang-senang melainkan untuk menunaikan tanggung jawab tetap saja tangisan mereka, terutama si sulung, tak berhenti.

Rasa bersalah itu cukup dalam sehingga mampu membuat saya bisa dengan segera mengganti tiket pulang lebih cepat apabila rapat sudah selesai. Bahkan saya pernah ngibrit pulang meninggalkan pertemuan –ketika tanggung jawab saya di pertemuan itu sudah usai tetapi sebenarnya pertemuannya masih berlangsung—gara-gara anak saya menelepon dan berkata, “Aku besok ingin ke rumah kakak Shan sama Bunda.” Langsung malam itu juga saya telepon travel agent dan ganti pesawat paling pagi.

Keinginan untuk segera pulang ini sering kali terlalu heboh sampai saya bisa melewati batas ketakutan saya sendiri. Saya sebenarnya takut terbang di malam hari, tetapi saya rela pulang dengan pesawat malam bila mendengar di telepon anak menangis atau meminta saya segera pulang. Saya juga rela nongkrong di bandara lebih awal agar bisa mendapatkan pesawat yang hanya satu atau dua jam lebih awal.

Sebelum menikah saya dan suami sudah sepakat untuk punya dua orang anak. Kami belum memutuskan kapan harus punya anak kedua. Keputusan untuk anak kedua datang setelah saya  menemukan ada hubungan antara anak dengan rasa aman saat pergi.

Sewaktu saya pergi ke sebuah kota di Afrika, saya ngobrol dengan seorang teman dari India. Dia ayah beranak dua yang istrinya juga sering pergi. Awalnya saya bercerita soal anak sulung saya yang ketika itu berusia dua tahun selalu sulit untuk berpisah. Dia bercerita bahwa di usia balita, kedua anaknya memang sangat dekat dan sulit untuk berpisah. Tetapi di usia anak-anaknya yang belasan, kepergian dia dan istrinya sudah tidak terlalu mengharu biru.

Dia dengan sangat meyakinkan bilang bahwa rasa bersalah saya pasti akan berkurang kalau saya punya anak lagi. Katanya, “kalau anak hanya satu, pasti kamu ketakutan kehilangan. Tetapi kalau punya dua anak atau lebih kamu lebih tenang karena rasa takut kehilangan akan berkurang ditambah mereka bisa bermain sendiri dan saling menjaga tanpa harus ada kamu.” Kalimat itu terbayang terus sampai saya pulang.

Kalimat ini menjadi awal diskusi saya dengan suami untuk mulai punya anak lagi. Setelah mempertimbangkan banyak hal akhirnya kita sepakat untuk punya anak kedua saat sang kakak berusia tiga tahun dan Alhamdullilah, kami diijinkan untuk punya anak lagi.

Tetapi teman saya salah. Ternyata punya dua anak tidak mengurangi rasa bersalah. Rasa bersalahnya malah malah dobel dan kompleks.

Waktu hanya punya satu anak, setiap pulang bepergian lebih dari lima hari saya selalu minta cuti satu atau dua hari. Alasan yang saya ajukan ke kantor adalah untuk istirahat. Padahal alasan sesungguhnya adalah to win back my daugther’s heart. Saya selalu ingin anak saya mengidolakan saya. Jadi, kalau saya pulang ke rumah dan dia lebih dekat dengan ayahnya atau pengasuhnya saya pasti iri.

Sekarang setelah punya anak dua, usaha ini harus berlipat ganda. Tantangannya lebih kompleks karena saya bukan hanya perlu memenangkan hati mereka kembali tetapi memberikan waktu yang seimbang antara si sulung dan si bungsu. Si bungsu yang sedikit lebih cuek dari kakaknya membuat upaya memenangkan hatinya itu harus lebih kreatif. Sementara upaya sang kakak untuk mendominasi waktu saya membuat saya harus sering bernegosiasi agar adiknya punya waktu yang seimbang.

Bingung dan kadang sedih tentu saja. Tetapi mau bagaimana lagi?

Orang lain sering memandang takjub jadwal saya dan mengutarakan pertanyaan, “Anak-anaknya siapa yang jaga?” Dengan berusaha sabar dan menepis pandangan sinis mereka saya berusaha menjelaskan dengan siapa anak-anak saya berada saat ini. Biasanya mereka bertanya lanjutan dengan tatapan yang masih curiga. Kalau masih ada tenaga saya bercerita soal kesepakatan dengan suami yang sudah kami bangun sebelum menikah termasuk jadwal saya kalau tidak sedang bepergian. Kalau sedang malas, saya diamkan saja.

Dibalik dilema travelling ini, saya merasa mungkin inilah jalan terbaik untuk saya dan keluarga. Beberapa waktu terakhir ini saya sudah menyerah pada konsekuensi travelling saya. Tetapi ada satu harga penting yang tidak bisa ditawar oleh kantor, saya tidak boleh pergi terlalu lama.

Kendati saya sering pergi tetapi waktu kerja saya bila ada di Jakarta bisa lebih fleksibel. Secara resmi saya hanya bekerja sampai jam empat sore dan setelah itu bisa menghabiskan waktu di rumah. Membacakan buku, bermain ci-luk-ba dan menyanyi adalah jadwal cukup rutin saya dengan anak-anak. Kendati sering ditinggal, mereka tergolong dekat dengan saya, Tentu saja saya harus merelakan bahwa pengasuh mereka juga menjadi salah satu orang yang mereka idolakan, tetapi di banyak kejadian terutama saat mereka sakit atau mengantuk biasanya saya tetap jadi idola. Lumayan.

Kepergian saya ini juga membawa efek cukup positif untuk mereka. Mereka mulai tahu tentang keberagaman misalnya perbedaan bahasa, warna kulit, makanan serta budaya di tempat lain. Kepergian saya juga memicu si sulung yang bercita-cita menjadi pilot. Dia ingin menerbangkan pesawat agar bisa melihat belahan dunia lain. Cita-cita dia ini dinilai cukup konsisten oleh guru-gurunya dibandingkan sebagian teman-temannya sering berubah cita-cita.

Kepergian saya ini juga membuat saya lebih menghargai waktu bersama mereka. Saya jadi lebih memaksimalkan segenap hati dan waktu yang saya miliki untuk keluarga. Anak-anak (termasuk sang ayah) adalah prioritas saat saya di Jakarta. Tugas bepergian saya ini juga membuat saya tidak pernah lupa untuk bilang, “I love you sooo much” kepada mereka kapan pun saya bisa. @end

*Bunda dua anak manis, gemar menulis, tinggal di Rempoa.

  • August 4, 2010